Phone Contact

Semangat PAGI..

Rabu, 20 April 2011

PTK kelas IX PKn

A. Latar Belakang
Melihat kenyataan dalam proses belajar mengajar siswa MTs Syekh Subakir Sumberasri Kec. Nglegok Kabupaten Blitar pada tahun pelajaran 2007/2008 semester 1 kelas IX setelah diadakan evaluasi belajar ulangan harian (formatif) pada pokok bahasan kelangsungan hidup makluk hidup sangat menurun (data terlampir I) padahal sudah diberikan pelajaran sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia dan kurikulum yang berlaku.
Hasil belajar yang kurang baik ini disebabkan; (1) Penggunaan model pembelajaran yang kurang sesuai, (2) Rendahnya minat belajar siswa, karena tidak adanya dukungan dari keluarga atau orang tua, (3) sarana yang kurang memadai (4) lingkungan yang kurang mendukung.
Kondisi belajar diatas tentunya kurang sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan, untuk itu perlu dilakukan berbagai usaha untuk meningkatkan hasil belajar tersebut.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ditekankan pada pengolahan kegiatan belajar mengajar dengan pola pengajaran menggunakan beberapa variasi mengajar yang mungkin bisa digunakan, dengan memperhatikan aspek sosial dan individu siswa. Hal ini perlu digunakan untuk memunculkan kreatifitas dan kecerdasan siswa (multiple intelegence) sehingga semua potensi dan kompetensi siswa dapat muncul. Untuk itulah perlu dilakukan model pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa dengan model pembelajaran TGT (Teams Games Tournament).
B. Rumusan Masalah
Permasalahan penelitian ini adalah bagaimana guru meningkatkan hasil belajar siswa MTs Syekh Subakir Sumberasri Kec. Nglegok Kabupaten Blitar khususnya kelas IX pada pokok bahasan kelangsungan hidup makluk hidup dengan model pembelajaran TGT (Teams Games Tournament).


dst ....

Minggu, 10 April 2011

Classroom Action Research (CAR) VII Bahasa Inggris

5.1 Conclusions
After the Numbered Heads Together technique was implemented and developed through two cycles, it is concluded that the appropriate model of strategy using NHT technique in teaching reading encompasses the following procedures: (1) leading students to the topic by giving some questions and/or showing a picture(s), (2) connecting the topic with the students’ real experience, (3) introducing the topic and explaining the instructional objectives, (4) assigning students to predict the words used in the text, (5) informing students about the things they should do in their groups, (6) reading the text clearly, loudly, and slowly and asking some students to re-read the text, (7) clarifying the difficult words and discussing the words the students have predicted, (8) asking students to predict the content, (9) giving individual task to the students, (10) assigning students to put their heads together and discuss the answer they have done individually, (11) checking the groups’ answers toward the text by using NHT, and (12) asking students the conclusion of the lesson.
NHT technique has been proven to improve or progress the reading comprehension in addition to enhancing the participation of the second year students of MTsN Jabung Talun Blitar, especially in raising their hands to respond to the teacher’s questions. NHT is proven effective not only because the technique has some cooperative learning-related benefits in terms of improving students’ academic performance, enhancing motivation toward learning, increasing time on task, and leading to more positive social behaviors; but also because it has the sense of fun and competition, especially in the answer-checking session. Psychologically, if students feel fun about their learning, they will be more motivated to study, thus, they ultimately can achieve better.
In conjunction with the effectiveness of NHT in improving the reading comprehension of the second year students of MTsN Jabung Talun Blitar, in the first cycle of the implementation of the technique, the students’ reading comprehension score was improved, but not to the level required to meet the criteria of success. The students’ average score in the first cycle was 60.44. The increase of the students’ average score from the pre-test to the first quiz was only 19.49%, yet, it didn’t achieve the criteria of success. In the second cycle, the students’ reading comprehension was better than the first cycle with the average score of 76.23. The second quiz revealed that the students’ reading ability was improved as much as 50.71%. Most students whose scores improved were average and low achievers, whereas the scores of high achievers tended to fluctuate.
Pertinent with the effectiveness of NHT in enhancing students’ participation, NHT has successfully encouraged students to actively participate in answer-checking session by raising their hands competitively. In the first meeting, there were 86.67% of students who raised their hands, 70% in the second meeting, and 83.33% in the third and fourth meeting successively.

dst ....

Jumat, 08 April 2011

PTK BAHASA INGGRIS KELAS VII

1.2 Research Problem
In line with the study background above-mentioned, the statement of research problem is formulated as follows: “How can Numbered Heads Together technique be developed to improve the reading comprehension of the second year students of MTsN Jabung Talun Blitar?
1.3 Objective of the Study
In conjunction with the formulated research problem, the purpose of the study is to develop Numbered Heads Together technique to improve the reading comprehension of the second year students of MTsN Jabung Talun Blitar.
1.4 Significance of the Study
The finding of the study gives a significant contribution to the teachers and other researchers. With regard to enhancing students’ learning interest, motivation, and competence in any subject, teachers can incorporate Numbered Heads Together technique in the curriculum. Besides, the finding of the study provides a practical guide of how the technique can be used in reading class as well as used as an alternative for aiding students to comprehend English reading texts. In addition, it provides theoretical contribution of the importance of cooperative learning strategy, especially Numbered Heads Together technique in teaching English as well as in other subjects. Theoretically, the finding proves to support the theory about the efficacy of the technique in terms of enhancing students’ engagement, motivation, support and learning. Besides, the finding is also in line with the theory and other research findings stating that NHT improves students’ academic achievement and participation, particularly in responding to the teacher’s questions. For other researchers, this study provides valuable references, especially for those who are interested in conducting a research in a similar field.
1.5 Scope and Delimitation of the Study
The study is focused on the teaching and learning process of reading by using Numbered Heads Together technique in order to improve students’ reading comprehension. The technique is implemented to the students of Class VIII-B MTsN Jabung Talun Blitar in Academic Year 2007/2008. The class is selected since the students of the class have low motivation to participate actively in the classroom activities in addition to having relatively low achievement in reading comprehension.
There are three common types of reading comprehension questions - literal, inferential and applied question. The types of questions the students need to comprehend in this study, however, are limited only to two types, literal and inferential questions, of which literal questions are slightly more emphasized. The literal questions are more emphasized than inferential questions since most students still have problems in this type of question, and it is by far twice more difficult for students to comprehend inferential questions. Yet, this does not mean that inferential questions are neglected.


DST ......

PTK BAHASA INDONESIA KELAS IX

II. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang dapat diindentifikasi berbagai masalah sebagai berikut:
a. Rendahnya nilai siswa dalam menganalisis unsur instrinsik cerpen.
b. Metode pembelajaran yang kurang bervariasi
c. Kurangnya aktifitas siswa dalam pembelajaran
d. Kurangnya minat baca siswa
III. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas perlu adanya pembatasan masalah yaitu:
a. Penelitian ini dibatasi pada siswa kelas IX E semester I tahun pelajaran 2008 – 2009 di MTsN Jabung.
b. Hasil belajar menganalisis unsur instrinsik cerpen.
c. Keaktifan siswa dalam pembelajaran
d. Pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kooperatif Jigsaw Tim Ahli (JTA)
IV. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas dapat dirumuskan masalah : Apakah pembelajaran kooperatif Jigsaw Tim Ahli dapat meningkatkan hasil belajar dan keaktifan siswa dalam menganalisis unsure-unsur intrinsic cerpen siswa kelas IX E semester I taahun pelajaran 2008-2009 di MTsN Jabung ?
V. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas penelitian ini bertujuan: Menggunakan pembelajaran kooperatif Jigsaw Tim Ahli (JTA) untuk meningkatkan hasil belajar dan keaktifan siswa dalam menganalisis unsur-unsur intrinsik cerpen siswa kelas IX E semester I tahun pelajaran 2008-2009 di MTsN Jabung.

PTK IPA KELAS IX

B. Rumusan Masalah
Permasalahan penelitian ini adalah bagaimana guru meningkatkan hasil belajar siswa MTs Syekh Subakir Sumberasri Kec. Nglegok Kabupaten Blitar khususnya kelas IX pada pokok bahasan kelangsungan hidup makluk hidup dengan model pembelajaran TGT (Teams Games Tournament).
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menghasilkan pengetahuan deskriptif, yaitu untuk mengetahui bagaimana model pembelajaran TGT (Teams Games Tournament) dapat meningkatkan hasil belajar siswa MTs Syekh Subakir Sumberasri Kec. Nglegok Kabupaten Blitar pada pokok bahasan kelangsungan hidup makluk hidup khususnya kelas IX.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara Teoritik
Penelitian ini bermanfaat sebagai salah satu solusi dari permasalahan hasil belajar siswa yang kurang memuaskan yang terjadi pada hasil evaluasi belajar siswa dan siswi MTs Syekh Subakir Sumberasri Kec. Nglegok Kabupaten Blitar khususnya kelas IX pada pokok bahasan kelangsungan hidup makluk hidup.
2. Segi Penerapan Praktis
Penelitian ini bermanfaat sebagai laporan aktual berdasarkan data yang sesungguhnya sehingga dapat digunakan sebagai saran dalam rangka perbaikan hasil belajar siswa.
3. Manfaat bagi Guru
Sebagai alternatif model pembelajaran bagi pengajar bidang studi yang sama atau bidang studi yang lain untuk meningkatkan hasil belajar siswa.
4. Manfaat bagi Siswa
Dapat membangkitkan minat belajar siswa pada pada pokok bahasan kelangsungan hidup makluk hidup sehingga hasil belajar meningkat.


dst ......

Selasa, 05 April 2011

FILSAFAT ILMU

BAB I : PENDAHULUAN

Di dalam kehidupan ini dijumpai terdapat dua macam kenyataan yang terdiri dari sumber yang disepakati/disetujui dan kenyataan yang bersumber dari pengalaman, seperti halnya pengetahuan dan ilmu juga bersumber dari dua hal tersebut. Dan menurut pendapat Machlup, pengetahuan terdiri dari 5 bentuk, yaitu;
a. Pengetahuan praktis (pengetahuan untuk mengambil keputusan dan melakukan tindakan)
b. Pengetahuan intelektual (pengetahuan yang dapat memuaskan keinginan intelektual)
c. Pengetahuan ringan/hiburan (pengetahuan yang dapat memenuhi kepuasan sementara, non intelektual dan dapat member stimulus emosional)
d. Pengetahuan spiritual (pengetahuan yang berhubungan dengan tuhan dan agama)
e. Pengetahuan yang tidak diinginkan yang tanpa sengaja dating.
Menurut Ibn Taimiyah ilmu ada dua sifat, tabi’ (obyek tidak butuh akan keberadaan subyek) seperti Tuhan tidak membutuhkan keberadaan seorang hamba untuk menunjukkan kebesaran-Nya, matbu’ (obyek membutuhkan keberadaan subyek) seperti adanya berdiri tidak dapat didefenisikan dan diketahui tanpa adanya istilah duduk.
Ilmu agama adalah sistematika pengetahuan agama yang berlandaskan pada argument-argumen rasional dan pengalamamn keagamaan yang bersumber dari wahyu. Dan metode ilmiah untuk menggali ilmu agama dengan, a). Identifikasi masalah dan pembentukan hipotesis, b) merancang eksperimen, c) melakukan eksperimen, d). Pengujian hipotesis, dan e). mengkomunikasikan hasil penelitian secara umum.
Dalam perkembangannya agama sebagai sumber aspirasi dan motivasi pada terjadinya setiap gerak dan tingkah laku manusia dalam menciptakan peradaban tampaknya mulai mengalami krisis ketika masuknya ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian diperlukan konsep penelitian agama demi untuk memberikan jawaban yang komprehensif.
BAB II : BENTUK-BENTUK PENELITIAN AGAMA
Penyusunan konsep penelitian agama banyak tergantung pada pengertian tentang agama-agama itu sendiri, selain itu perlu diketahui tipe-tipe agama yang akan diteliti. Menurut Huchitson tipe-tipe agama ada 4, yaitu a). agama yang mempunyai banyak Tuhan—Politeisme, b). agama yang menempatkan obyek keagamaan di antara dunia sekuler dari alam, masyarakat dan terkadang agama dicap sebagai monoisme transenden, c) agama yang meyakini adanya satu tuhan—monotheisme, d). agana campuran dari tipe yang kedua dan ketiga atau disebut sikhisme.
Konsep Penelitian Agama dan Keagamaan
a. Penelitian agama/ilmu agam, penelitian agama mencakup asal-usul dan sumber, pemikiran dan pemahaman penganut ajaran agama tersebut terhadap ajaran yang terkandung didalamnya.
b. Penelitian kehidupan beragama, penelitian atas pemikiran keagamaan sebagaimana yang terdapat pada sejarah dan dipraktikkan oleh penganutnya.
c. Metode pemikiran dalam agama, terkait dengan metode yang digunakan diantaranya; metode deduktif filsafat peripatetic, metode iluminasionis, metode sufisme, metode deduktif dalam kalam/theology dan metode induktif-deduktif.
Pendekatan yang Digunakan dalam Penelitian Agama
a. Pendekatan theologies, dapat diidentikan dengan pendekantan ilmu kalam
b. Pendekatan filsafat, pendekatan filsafat islam ini tidak bisa terlepas dari wahyu, karena al-qur’an bukan merupakan hasil dari filsafat, pendekatan ini meliputi dari teodesi, antropologi, eksatologi, dan filsafat tentang alam.
c. Pendekatan ilmu sejarah, merupakan metode dan instrument penting dalam penelitian agama, perkembangan sejarah telah menarik minat agama dalam pengkajian perbandingan agama.
d. Pendekatan ilmu sosial, ilmu yang biasa digunakan dalam pendekatan ini adalah ilmu psikologi, sosiologi, dan antropologi.
e. Pendidikan ilmu agama, melalui pendekatan ini telah melahirkan ilmu-ilmu agama seperti ilmu tafsir, hadits, usul fiqh, ilmu kalam dan lain sebagainya.

PTK PAI VI (IMAN KEPADA HARI AKHIR)

A. Latar Belakang
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang begitu pesat pada era globalisasi, membawa perubahan yang sangat radikal. Perubahan itu telah berdampak pada setiap aspek kehidupan, termasuk pada system pendidikan dan pembelajaran. Dampak dari perubahan yang luar biasa itu terbentuknya suatu ‘kumonitas global’, lebih parah lagi karena komunitas global itu ternyata tiba jauh lebih cepat dari yang diperhitungkan: revulusi informasi telah menghadirkan dunia baru yang benar-benar hyper-reality.
Akibat dari perubahan yang begitu cepatnya, manusia tidak bisa lagi hanya bergantung pada seperangkat nilai, keyakinan, dan pola aktivitas social yang konstan. Manusia dipaksa secara berkelanjutan untuk menilai kembali posisi sehubungan dengan factor-faktor tersebut dalam rangka membangu sebuah konstruksi social-personal yang memungkin atau yang tampaknya memungkinkan. Jika masyarakat mampu bertahan dalam menghadapi tantangan perubahan di dalam dunia pengetahuan, teknologi, komunikasi serta konstruksi social budaya ini, maka kita hasrus mengembangkan proses-proses baru untuk menghadapi masalah-masalah baru ini. Kita tidak dapat lagi bergantung pada jawaban-jawaban masa lalu karena jawaban-jawaban tersebut begitu cepatnya tidak berlaku seiring dengan perubahan yang terjadi. Pengetahuan, metode-metode, dan keterampilan-keterampilan menjadi suatu hal yang ketinggalan zaman hamper bersamaan dengan saat hal-hal ini memberikan hasilnya. Degeng (1998) menyatakan bahwa kita telah memasuki era kesemrawutan. Era yang datangnya begitu tiba-tiba dan tak seorang pun mampu menolaknya. Kita harus masuk di dalamnya dan diobok-obok. Era kesemrawutan tidak dapat dijawab dengan paradigma keteraturan, kepastian, dan ketertiban. Era kesemrawutan harus dijawab dengan paradigma kesemrawutan. Era kesemrawutan ini dilandasi oleh teori dan konsep konstruktivistik; suatu teori pembelajaran yang kini banyak dianut di kalangan pendidikan di AS. Unsure terpenting dalam konstruktivistik adalah kebebasan dan keberagaman. Kebebasan yang dimaksud ialah kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan pa yang mampu dan mau dilakukan oleh si belajar. Keberagaman yang dimaksud adalah si belajar menyadari bahwa individunya berbeda dengan orang/kelompok lain, dan orang/kelompok lain berbeda dengan individunya.
Alternative pendekatan pembelajaran ini bagi Indonesia yang sedang menempatkan reformasi sebagai wacana kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan hanya di bidang pendidikan, melainkan juga di segala bidang. Selama ini, wacana kita adalah behavioristik yang berorientasi pada penyeragaman yang pada akhirnya membentuk manusia Indonesia yang sangat sulit menghargai perbedaan. Perilaku yang berbeda lebih dilihat sebagai kesalahan yang harus dihukum. Perilaku manusia Indonesia selama ini sudah terjangkit virus kesamaan, virus keteraturan, dan lebih jauh virus inilah yang mengendalikan perilaku kita dalam berbangsa dan bernegara.
Longworth (1999) meringkas fenomenan ini dengan menyatakan: ‘Kita perlu mengubah focus kita dan apa yang perlu dipelajari menjadi bagaimana caranya untuk mempelajari. Perubahan yang harus terjadi adalah perubahan dari isi menjadi proses. Belajar bagaimana cara belajar untuk mempelajari sesuatu menjadi suatu hal yang lebih penting daripada fakta-fakta dan konsep-konsep yang dipelajari itu sendiri’.
Oleh karena itu, pendidikan harus mempersiapkan para individu untuk siap hidup dalam sebuah dunia di mana masalah-masalah muncul jauh lebih cepat daripada jawaban dari masalah tersebut, di mana ketidakpastian dan ambiguitas dari perubahan dapat dihadapi secara terbuka, di mana para individu memiliki keterampilan-keterampilan yang diperlukannya untuk secara berkelanjutan menyesuaikan hubungan mereka dengan sebuah dunia yang terus berubah, dan di mana tiap-tiap dan kita menjadi pemberi arti dari keberadaan kita. Beare & Slaughter (1993) menagaskan, ‘Hal ini tidak hanya berarti teknik-teknik baru dalam pendidikan, tetapi juga tujuan baru. Tujuan pendidikan haruslah untuk mengembangkan suatu masyarakat di mana orang-orang dapat hidup secara lebih nyaman dengan adanya perubahan daripada dengan adanya kepastian. Dalam dunia yang akan datang, kemampuan untuk menghadapi hal-hal baru secara tepat lebih penting daripada kemampuan untuk mengetahui dang mengulangi hal-hal lama.
Dari diskursus diatas, peneliti ingin melakukan penelitian tindakan kelas dengan judul ” Penerapan Pembelajaran Model STAD Untuk Meningkatkan Hasil Belajar PAI Kelas VIB Pada Pokok Bahasan Iman Kepada Hari Akhir di Sekolah Dasar Negeri Sentul 02 Kota Blitar”.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ” bagaimana penerapan pembelajaran model STAD untuk meningkatkan hasil belajar PAI kelas VIB pada pokok bahasan iman kepada hari akhir di SDN Sentul 02 Kota Blitar.

DST ....

IBNU THFAIL : HAYY IBN YAQDZAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kalangan muslim spanyol telah menorehkan catatan paling mengagumkan dalam sejarah intelektual pada abad pertengahan (mediavelis) di eropa. Antara pertengahan abad ke-8 dan ke-13. Orang-orang yang berbicara dengan bahasa Arab adalah para pembawa obor kebudayaan dan peradaban penting yang menyeruak menembus seluruh pelosok dunia. Selain itu mereka juga merupakan wasilah perantaraan yang menghubungkan ilmu dan filsafat Yunani klasik sehingga khazanah kuno itu di temukan kembali. Tak hanya menjadi mediator mereka juga memberikan beberapa penambahan dan proses transmisi sedemikian rupa sehingga memungkinkan lahirnya pencerahan di Eropa Barat.
Dalam semua proses tersebut bangsa arab-spanyol mempunyai andil yang sangat besar. Di antara pencapaian yang telah mereka peroleh adalah dalam ranah pemikiran filsafat dan tasawuf yang merupakan rantai yang paling kuat dalam mata rantai yang menghubungkan antara filsafat Yunani, Timur dan Latin barat, pencapaian mereka semakin kokoh dan di akui terutama dalam kontribusi mereka yang telah berhasil melakukan upaya mengkompromikan antara wahyu, akal dan intuisi serta agama dan ilmu pengetahuan. Untuk menunjukkan sisi dari kontribusi muslim Spanyol abad pertengahan dalam ranah fisafat akan penulis ketengahkan nama Ibnu thufail yang merupakan tokoh filosuf muslim neo-platonis Spanyol yang telah mencapai orisinalitas karya yang sedemikian rupa yang hidup pada masa pemerintahan dinasti muwahhidun. Karya ibn Thufail meliputi berbagai bidang seperti filsafat, fisika, metafisika, kejiwaan, dan juga kesusasteraan. Namun karya-karya tersebut sudah tidak ditemukan lagi dan yang sampai kepada kita hanyalan risalah Hay bin Yaqzan, merupakan inti sari pikiran filsafatnya yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Dari diskursus di atas, maka penulis ingin mengemukakan makalah dengan judul “Ibnu Thufail: Hayy bin Yaqzan”, sebagai bahan diskusi dan tugas mata kuliah pemikiran Islam

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup Ibnu Thufail?
2. Bagaimana risalah Ibnu Thufail mengenai Hayy bin Yaqzan?
3. Bagaimana filsafat Ibnu Thufail mengenai Hayy bin Yaqzan?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui riwayat hidup Ibnu Thufail?
2. Untuk mengetahui risalah Ibnu Thufail mengenai Hayy bin Yaqzan
3. Untuk mengetahui filsafat Ibnu Thufail mengenai Hayy bin Yaqzan




BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Ibnu Thufail
Namanya adalah Abu Bakar Muhammad bin Abd al Malik ibn Muhammad ibn Thufail al Qaisi dinisbahkan kepada qobilah Qais yang yang merupakan qobilah termasyhur pada saat itu. Ia dilahirkan di Guadix (Arab: Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. Dalam bahasa latin ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer. Selain terkenal sebagai filosof muslim yang gemar menuangkan pemikirannya dalam kisah-kisah ajaib dan penuh dengan kebenaran, ia juga seorang dokter, ahli matematika dan kesusastraan. Karier Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktik di Granada. Lewat ketenarannya sebagai dokter, beliau diangkat menjadi sekretaris gubernur di provinsi tersebut. Pada tahun 1154 M (549 H) Ibnu Thufail menjadi sekretaris pribadi gubernur Cueta (Arab: Sabtah) dan Tangier (Arab: Thanjah) Abu Yaqub Yusuf al-Mansur, Khalifah kedua dari Dinasti Muwahhidun (558 H / 1163 M –580 H / 1184 M) selanjutnya menjadi dokter pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi. Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault sebagai “tempat kelahiran kembali negeri Eropa”.
Kemudian beliau mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578 H / 1182 M, dikarenakan usianya yang sudah menginjak tua. Kedudukannya digantikan oleh Ibnu Rusd atas permintaan dari Ibnu Thufail. Namun dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581 H / 1185 M) di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam upacara pemakamannya.
Pemikiran-pemikiran filsafat Ibnu Thufail dituangkan dalam risalah-risalah (surat-surat) yang dikirimkan kepada muridnya (Ibnu Rusyd), sehingga tidak banyak dikenal orang banyak. Namun karyanya yang terpopuler dan dapat ditemukan sampai sekarang ialah risalah Hayy ibn Yaqzan yang judul lengkapnya Risalah Hayy ibn Yaqzan fi Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah yang ditulis pada abad ke 6 Hijriah (abad ke-12 M).
Budaya seni, sastra, filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang di andalus. Tokoh-tokoh besar Islam juga banyak yang lahir di sana, seperti Ibnu Bajjah, Ibnu Masarrah, Ibnu ‘Arabi, Ibnu Hazm, asy-Syathibi dan sejumlah tokoh lainnya. Mereka ini berhasil menempatkan filsafat sebagai kajian yang berkembang disana. Seperti yang dikatakan Abed al-Jabiri, para tokoh tersebut telah berhasil membangun tradisi nalar kritis yang ditegakkan di atas struktur berfikir demonstratif (nizham al-aql al-burhani). Atau yang kemudian dikenal sebagai “epistemologi burhani”.
Oleh karena itu, sebenarnya tradisi pemikiran filsafat sudah diterapkan sejak dinasti Umayyah berdiri. Tradisi-tradis keilmuan lain, seperti syari’ah, mistis (tasawuf), dan iluminis (Isyraqi) juga terus mengalami pekembangan. Tradisi-tradisi keilmuan seperti inilah yang nantinya mempengaruhi pemikiran Ibnu Thufail. Walaupun perkembangan keilmuan ini mengalami pasang-surut mengikuti kondisi politik pemerintahan yang sedang berkuasa.
Pada masa pemerintahan al-Hakam, Hisyam al-Mu’ayyid Billah, keberlangsungan filsafat sempat tersendat. Karena dia lebih cenderung kepada pengetahuan syari’at dan anti filsafat. Akhirnya kegiatan intelektual pun kembali fakum dan ajaran filsafat kembali dikatan sesat. Namun setelah dinasti al-Muwahhidin, dimana ketika pemerintahan dipegang oleh Abu Ya’qub Yusuf al-Mansur (558-580H) filsafat mulai terlihat titik terangnya. Masa inilah Ibnu Thufail hidup dengan menekuni bidang filsafat. Kedekatannya dengan penguasa, bahkan dipercaya sebagai dokter dan penasehat pribadi khalifah, maka kegiatan filsafat mulai diterima kembali. Tapi hanya dalam lingkungan istana atau terbatas pada kaum elit saja.
Masyarakat masih menganggap filsafat sebagai ajaran yang sesat dan bertentangan dengan agama Islam. Dalam situasi yang tidak kondusif inilah Ibnu Thufail terus menggali keilmuannya, sehinnga lahir karyanya “Hayy ibnu yaqzhan”. Dan dapat disimpulkkan mengapa Ibnu Thufail menggunakan bahasa symbol dalam karyanya tersebut. Dengan bahasa yang sederhana, diharapkan masyarakat akan mudah memahami dan lambat laun menerima filsafat sebagai kajian keilmuan. Bahkan sebagai metode berfikir dan cara pandang hidup
Sebagaimana umumnya para filosuf yang tenggelam dalam kerja kontemplatif ibnu Thufail juga berfikir tentang alam dan bagaimana proses-prosesnya serta agama dan bagaimana kemunculannya kemudian beliau merangkum hasil-hasil pencerahannya dalam karyanya yang terkenal yang di beri nama hayy bin yaqzan, yang bermaksud bahwa intelek manusia berasal dari intelek tuhan, atau dikenal juga sebagai Asraar al-Falsafah al-Isyraqiyah (rahasia-rahasia filsafat eluminasi) dan hasil karyanya ini telah di terjemahkan ke dalam bahasa latin pada masa di mana bahasa tersebut hanya di gunakan sebagai penterjemah karya-karya besar ilmiyah (magnum opus) yang menjadi referensi utama, termasuk yang telah menterjemahkannya ke dalam bahasa latin adalah Giovanni Vico Dolla Mirandolla (Abad 15) kemudian yang paling terkenal adalah Edward pockoke yang memberi tajuk pada karya tersebut Philosophus Autodidaktus (al filosuf al mu’allim nafsaha/Sang filosuf Autodidak) di mana nama tersebut di tujukan sebagai apresiasinya terhadap Ibnu Thufail, pada masa selanjutnya karya ini juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia. yang di dasarkan pada edisi bahasa latin diantaranya adalah Simon Ockley yang menerjemahkanya dalam bahasa inggris: The Improvement of Human Reason (1708) kemudian disusul oleh edisi barunya dengan judul The History of Hayyy ibn Yaqzan (1926) dan diterjemahkan pula oleh Leon Gauthier ke dalam bahasa prancis di sertai dengan teks arabnya Hayy Ben Yaqzan Roman Philosophique d’ibn Thofail di samping kemudian telah di terjemahkan ke dalam bahasa Spanyol, Jerman, Rusia, Belanda dan lain lain. Karya ibn Thufail meliputi berbagai bidang seperti filsafat, fisika, metafisika, kejiwaan, dan juga kesusasteraan. Namun karya-karya tersebut sudah tidak ditemukan lagi dan yang sampai kepada kita hanyalan risalah Hay bin Yaqzan, merupakan inti sari pikiran filsafatnya yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

B. Ringkasan Hayy bin Yaqzan
Secara ringkas karya ini berkisah tentang seorang anak yang tumbuh tanpa ayah dan ibu di sebuah pulau tak berpenghuni dengan nama Hay bin Yaqzan yang kemudian hari diambil anak angkat oleh seekor kijang dan dibesarkan dengan air susunya hingga akhirnya menjadi dewasa dan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri, ketika umurnya telah mencapai usia tujuh tahun Hay bin Yaqzan menemukan bahwa dirinya ternyata berbeda dengan hewan-hewan lain yang berada di pulau tersebut karena berbeda dengan dirinya hewan-hewan tersebut ternyata memiliki ekor, pantat dan bulu-bulu di bagian-bagian tubuhnya hal tersebut membuat Hayy bin Yaqzan mulai berfikir dan menggunakan potensi akalnya yang kemudian ia menjadikan daun-daunan untuk menutupi badannya untuk beberapa saat sampai akhirnya menggantinya dengan kulit binatang yang telah mati.
Suatu ketika kijang tersebut mati, Hayy berfikir mengapa kijang tersebut mati, kemudian hal itu mendorongnya untuk memeriksa tubuh dari kijang tersebut tetapi secara kasat mata dia tak menemukan sesuatu yang berbeda dari ketika kijang itu masih hidup. Kemudian ia mulai membedahnya hingga menemukan pada rongga tubuh kijang tersebut gumpalan yang di seliputi oleh perkakas tubuh yang mana darah di dalamnya menjadi beku maka hayy bin yaqzan mulai tahu bahwa jantung jika berhenti maka bersamaan itu pula kehidupan suatu makhluk hidup akan berakhir. Pada suatu hari Hayy bin Yaqzan menyalakan api di pulau tersebut maka ia mulai merasakan bahwa api ternyata dapat memberikan penerangan dan membangkitkan panas tidak cukup dengan itu ia juga menemukan bahwa daging burung dan ikan yang di bakar api terasa lebih enak dan sedap maka mulailah ia selalu menggunakan api untuk memasak makanan dan seterusnya mulailah ia memperkuat penggunaan indranya dan menggunakan apa yang ada di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Dan Hayy bin Yaqzan juga menyaksikan bahwa alam ini tunduk dalam suatu aturan kosmos dan akan berakhir pada titik ketiadaan dan yang dimaksud dengan alam adalah segala eksistensi yang immanent dan bisa kita rasakan dan semuanya itu mempunyai karakter “Baru” (haadist) yang berarti di dahului oleh ketiadaan (yang dalam teori penciptaan di sebut sebagai creatio ex nihilo), dan setiap yang baru mengharuskan adanya yang mengadakannya, dan hipotesa ini akhirnya membawa Hayy bin Yaqzan pada suatu kesimpulan tentang “Sang Pencipta (The creator) dan ia juga menyaksikan bahwa segala eksistensi di alam ini bagaimanapun berbedanya ternyata mempunyai titik-titik kesamaan baik dari segi asal maupun pembentukan maka ini mengarahkannya pada pemikiran bahwa segala yang ada ini bersumber dari subyek yang satu (causa prima) maka iapun mengimani Tuhan yang satu.
Kemudian Hay bin Yaqzan mulai mengarahkan pandangannya ke langit dan melihat matahari yang terbit dan terbenam setiap harinya secara berulamg-ulang maka seperti itulah dalam pandangannya aturan kosmos yang berkesinambungan sebagaimana yang terdapat pada planet dan bintang-bintang, tidak cukup dengan itu Hayy bin Yaqzan berkesimpulan bahwa termasuk sifat tuhan adalah sesuatu yang bisa kita lihat melalui jejak-jejak ciptaannya maka tampaklah karakter Tuhan sebagai Eksistensi yang Maha sempurna (The perfect one) lagi kekal (Eternal) dan yang selainnya akan rusak dan berakhir pada ketiadaan.
Seiring dengan berjalannya waktu sampailah Hayyy bin yaqzan pada umurnya yang ke 35 tahun, dan mulailah ia mencari indra apa dalam dirinya yang membawanya pada hipotesa-hipotesa dan menunjukinya pada kesimpulan-kesimpulannya yang telah lampau. Maka ia menemukan apa itu akal (reason), ruh (spirit) dan jiwa (nafs/soul). Dan ia tetap hidup di pulaunya sampai beberapa saat dengan kecondongan rohani dan kesenangan melakukan ekstasi (semedi) sambil berkontemplasi tentang segala ciptaan sebagai teofani (tajalliyaat) sang wajibul wujud (The necessary being).
Di pulau yang lain, dekat dengan pulau dimana hayy bin yaqzan tinggal, terdapat penduduk yang memeluk agama dari nabi terdahulu. Namun pengetahuan mereka terhadap agama sangat dangkal dan tidak bersifat rohani. Terdapat dua orang, Asal dan Salaman namanya, yang menonjol dari Salaman karena pemahamannya tentang agama, ia cenderung untuk memahami agama secara lahir sedangkan Asal lebih menyukai penghayatan secara rohani. Karena itu Asal lebih suka menyepi untuk bermeditasi dan sembahyang dan bermaksud pindah ke pulau yang dikiranya tidak berpenghuni, dimana Hay menetap. Walaupun pada awalnya mereka tidak saling mengenal tapi akhirnya terjadi suatu persahabatan yang akrab. Asal berhasil mengajar Hayy agar dapat berbicara sehingga terjadi tukar menukar pengetahuan diantara keduanya. Dari pertukaran pikiran itu diambil kesimpulan bahwa penyelidikan dan pengalaman mistik yang telah didapatkan dan dialami oleh hayy bin Yaqzan tidaklah terlalu berbeda dengan agama yang didapatkan Asal melalui kitab Suci yang disampaikan Nabinya. Kemudian Hayy beriman kepada agama yang dipeluk Asal.
Asal juga menceritakan kepada Hayy bin Yaqzan tentang keadaan penduduk dan pelaksanaan mereka terhadap pelajaran agama dimana sebelumnya Asal tinggal. Hayy menunjukkan perhatiannya dan ingin mengajak penduduk itu menuju jalan yang benar seperti telah didapatkannya. Namun ada sedikit ganjalan dihati Hayy tentang agama yaitu mengapa Tuhan memberikan gambaran-gambaran antropomorfis tentang agama sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dan apa perlunya ada ritual serta diberikannya kesempatan pada manusia untuk mencari kekayaan dan pemuasan kesenangan sehingga menimbulkan kesombongan.
Akhirnya Hayy dan Asal pergi ke pulau tersebut dan bertemu dengan Salaman. Dikemukakanlah maksud mereka berdua untuk memberikan pengajaran kepada penduduk berdasarkan apa yang telah mereka capai. Tapi ternyata baik Salaman maupun penduduknya kurang berminat terhadap penjelasan mereka yang cenderung bersifat rohani dan mistik itu. Dari sini Hayy pun menjadi tambah yakin akan kebenaran Kitab Suci yang memberikan tamsil-tamsil dan gambaran yang masuk akal. Bagi yang berpikiran dangkal memang cocok dengan gambaran-gambaran Kitab Suci tersebut. Kemampuan mereka hanya dapat memahami hal-hal yang bersifat lahir saja. Karena itu Asal dan Hayy pun mohon pamit untuk kembali dengan pesan perpisahan agar penduduk di situ berpegang teguh kepada Syara’ dan menjalankan agamanya dengan baik. Kebenaran keagamaan bagi orang awam bersifat harfiah dan eksternal sedangkan perenungan tentang kebenaran hanya bisa didapat oleh orang yang istimewa saja dan melalui proses pengalaman. Orang istimewa tersebut lebih unggul dari orang awam sehingga mereka lebih banyak mendapat karunia Tuhan.

C. Pemikiran Filsafat Ibnu Thufail
a. Tahapan-Tahapan Pemikiran dalam Risalah Hay ibn Yaqzan
1. Tahap pengetahuan empiris
Setelah mencoba memaparkan secara ringkas kisah di atas, penulis dapat membaginya dalam tiga tahapan dalam pencarian. Kisah hay ibn yaqzan yang diawali dengan perkembangan Hayy dalam beradaptasi dengan alam, belajar cara bertahan hidup, hingga dia menemukan api. Hal itu termasuk tahap pertama dalam pencarian ilmu, dengan memahami benda-benda sekitar dan mengetahui fungsinya.
Tahapan ini dapat disebut dengan tahap pengetahuan empiris. Dimana pengetahuannya masih terbatas dengan hal-hal yang terinderakan saja dengan pengamatan yang sederhana. Dari apa yang diperolehnya itu, dia semakin berusaha meningkatkan pengetahuannya. Memori-memori dari pengalaman pertamanya muncul seketika dia memahami fungsi dan kegunaan api. Dia mampu mengingat kesan pengalamannya lalu mengkorelasikan dengan pengalaman baru yang didapat.
Hayy meneruskan pengamatannya pada semua jenis binatang, tumbuhan, bebatuhan, tanah, air dan segalanya yang ada di alam bawah dengan segala sifat dan atributnya. Tidak hanya itu, dia juga mengamati benda-benda angkasa denga segala siklus yang dimilikinya. Hal tersebut menunjukkan adanya metode-metode berfikir yang digunakan, yaitu metode eskperimentasi dengan komparasi sehingga menghasilkan kesimpulan-kesimpulan deduktif.
2. Tahap pengaetahuan rasionalis
Di sini terlihat rasionalitas pemikiran filsafat Ibnu Thufail yang sangat kental. Hal itu tentunya tidak lepas dari pengaruh Ibnu Bajjah sebagai filsuf rasional murni. Pengetahuannya tentang alam dengan segala keberagamannya, pengetahuan tentang binatang dengan segala spesiesnya, tentang angkasa dan sebagainya. Membuat ia dapat kesimpulan bahwa semua itu ada sebabnya, yang mengaturnya dan ada Wujud lain dibalik semua fenomena itu.
Dari wilayah empiris lalu bergerak pada sesuatu yang tidak berbau materi. Pada tahapan ini dia mendalami pencariannya dengan kontemplasi. Pemikirannya pada wilayah ini terlihat juga ketika dia telah memahami bahwa alam ini ada permulaannya, alam ini adalah sesuatuyang baru. Maka dari itu ada suatu proses dari ada menjadi tiada. Proses itu memerlukan subyek yang sama sekali diluar sifat yang diadakan.
3. Tahap mistis—tasawuf
Tahapan terakhir dari perjalanan intelektual Ibnu Thufail dalam kisah Hay Ibn Yaqzan adalah tahapan tasawuf mistis melalui jalan intuitif. Hal ini dapat dilihat dari pencapaiannya ke titik penyaksian. Pencapaiannya dalam maqam tertinggi dimana ia mendapatkan pengetahuan sejati. Kisah Hay ibn yaqzan sampai disini mewakili pemikirannya tentang jalan mencari kebenaran tidak cukup sampai pada pengetahuan teoritik dan penalaran rasio atau akal saja. Sebagaimana ia tidak puas terhadap hasil pemikiran Ibnu Bajjah yang hanya berhenti disitu.
Maka hal itu sesuai dengan pendapatnya,”manusia tidak akan pernah bisa mencapai derajat tertinggi ini, kecuali apabila ia senantiasa memikirkan dzat-Nya, serta membebaskan diri dari segala pikiran tentang segala sesuatu yang bersifat indrawi”. Derajat inilah yang disebut olehnya sebagai derajatnya para sufi. Selain itu, ini sebagai hasil ikhtiarnya dalam mendamaikan dua aliran pemikiran yang sering dipertentangkan, yaitu pemikiran falsafah dan pemikiran sufi. Dua aliran utama itu menggunakan metode berbeda dalam mencapai kebenaran, tetapi ternyata keduanya dapat dipertemuka kembali. .
Mengenai pemikiran iluminasi Ibnu Thufail direfleksikan ketika Hay mengetahui adanya kesamaan esensi antara dirinya, benda-benda alam sekitar dan benda yang ada di langit. Esensi-esensi dipancarkan oleh satu esensi sejati yang tak terbatas. Karena ketak terbatasan-Nya itu, Dia memanivestasikannya pada semua yang beragam ini. Tentunya dengan jalan emanasi cahaya, dimana cahaya tertinggi tidak dapat dilihat kecuali dalam keadaan bersih dan suci.


b. Tentang Dunia
Salah satu masalah filsafat adalah apakah dunia itu kekal, atau diciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan atas kehendak-Nya? Dalam filsafat muslim, Ibnu Tufail, sejalan dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi masalah itu dengan tepat sebagaimana Kant. Tidak seperti para pendahulunya, tidak menganut salah satu doktrin saingannya, pun dia tidak berusaha mendamaikan mereka. Di lain pihak, dia mengecam dengan pedas para pengikut Aristoteles dan sikap-sikap teologis. Kekekalan dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbatas yang tak kurang mustahilnya dibandingkan gagasan tentang rentangan tak terbatas. Eksistensi semacam itu tidak dapat lepas dari kejadian-kejadian yang diciptakan dan karena itu tidak dapat mendahului mereka dalam hal waktu, dan yang tidak dapat sebelum kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara lambat laun. Begitu pula konsep creatio ex nihilo tidak dapat mempertahankan penelitiannya yang seksama.
Sebagaimana, Al Ghazali, dia mengemukakan bahwa gagasan mengenai kemaujudan sebelum ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada, tapi waktu itu sendiri merupakan suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu kemaujudannya mendahului kemaujudan dunia dikesampingkan. Dan segala yang tercipta pasti membutuhkan pencipta. Kalau begitu mengapa sang Pencipta menciptakan dunia saat itu dan bukan sebelumnya? Apakah hal itu dikarenakan oleh suatu yang terjadi atas-Nya? Tentu saja tidak, sebab tiada sesuatupun sebelum Dia untuk membuat sesuatu terjadi atas-nya. Apakah hal itu mesti dianggap bersumber dari suatu perubahan yang terjadi atas sifat-Nya? Tapi adakah yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut?
Karena itu Ibnu Tufail tidak menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun penciptaan sementara dunia ini.

c. Tentang Tuhan
Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu mensyaratkan adanya satu pencipta, sebab dunia tak bisa maujud dengan sendirinya. Juga, sang Pencipta bersifat immaterial, sebab rnateri yang merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu pencipta. Di pihak lain, anggapan bahwa Tuhan bersifat material akan membaca suatu kemunduran yang tiada akhir yang adalah musykil. Oleh karena itu, dunia ini pasti mempunyai penciptanya yang tidak berwujud benda. Dan karena Dia bersifat immaterial, maka kita tidak dapat mengenali-Nya lewat indera kita ataupun lewat imajinasi, sebab imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera.
Kekekalan dunia berarti kekekalan geraknya juga, dan gerak sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles, membutuhkan penggerak atau penyebab efisien dari gerak itu. Jika penyebab efisien ini berupa sebuah benda, maka kekuatannya tentu terbatas dan karenanya tidak mampu menghasilkan suatu pengaruh yang tak terbatas. Oleh sebab itu penyebab efisien dari gerak kekal harus bersifat immaterial. la tidak boleh dihubungkan dengan materi ataupun dipisahkan darinya, ada di dalam materi itu atau tanpa materi itu, sebab penyatuan dan pemisahan, keterkandungan atau keterlepasan merupakan tanda-tanda material, sedang penyebab efisien itu, sesungguhnya lepas dari itu semua.
d. Tentang Kosmologi Cahaya
Ibnu Tufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi apa-apa kecuali satu itu. Manifestasi kemajemukan kemaujudan dari yang satu dijelaskannya dalam gaya Neo-Platonik yang monoton, sebagai tahap-tahap berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses itu, pada prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus cahaya matahari pada cermin. Cahaya matahari yang jatuh pada cermin dan yang dari sana menuju ke yang lain dan seterusnya, menunjukkan kemajemukan. Semua itu merupakan pantulan cahaya matahari, dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu sendiri, bukan pula sesuatu yang lain dari matahari atau cermin itu. Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu hilang menyatu dengan matahari kalau kita pandang sumber cahaya itu, tapi timbul lagi kalau kita pandang cermin, yang di situ cahaya tersebut dipantulkan. Hal yang sama berlaku juga pada cahaya pertama beserta perwujudannya di dalam kosmos.
e. Epistemologi Pengetahuan
Tahap pertama, jiwa bukanlah suatu tabula rasa, atau papan tulis kosong. Imaji Tuhan telah tersirat di dalamnya sejak awal, tapi untuk menjadikannya tampak nyata, kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih, tanpa prasangka. Keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial, sebagai kondisi awal semua pengetahuan, merupakan gagasan sesungguhnya dibalik kelahiran tiba-tiba Hay di pulau kosong. Setelah hal ini tercapai, pengalaman, inteleksi dan ekstase memainkan dengan bebas peranan mereka secara berurutan dalam memberikan visi yang jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa. Bukan hanya disipiin jiwa, tapi pendidikan semua indera dan akal, yang diperlukan untuk mendapatkan visi semacam itu. Kesesuaian antara pengalaman dan nalar (Kant), disatu pihak, dan kesesuaian antara nalar dan intuisi (Bergson dan Iqbal), dipihak lain, membentuk esensi epistimologi Ibnu Tufail.
Pengalaman akan menjadi suatu proses mengenal lingkungan lewat indera. Organ-organ indera ini berfungsi, berkat jiwa hewani yang ada di dalam hati, dari sana berbagai data indera yang kacau mencapai otak menyebarkannya ke seluruh tubuh lewat jalur syaraf. Kemudian dikirimkan ke otak lewat jalur yang sama, di situ diproses menjadi satu kesatuan perspektif.
Pengamatan memberi kita pengetahuan mengenai benda-benda yang oleh akal induktif, dengan alat-alat pembanding dan pembedanya, dikelompokkan menjadi mineral, tanaman dan hewan. Setiap kelompok benda ini memperlihatkan fungsi-fungsi tertentu, yang membuat kita menerima bentuk-bentuk atau jiwa-jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab fungsi-fungsi tertentu berbagai benda. Tapi hipotesis semacam itu tidaklah dapat dipertahankan atas dasar induktif, sebab bentuk atau jiwa yang dimaksud itu tidak dapat diamati secara langsung, sehingga tindakan-tindakan tampak muncul dari suatu tubuh tertentu; tapi kenyataannya, mereka tidak ditimbulkan bukan oleh tubuh itu atau ruh tubuh itu, melainkan oleh sebab tertentu yang ada di luarnya dan sebab itu ialah Tuhan.
Setelah mendidik akal dan indera serta memperhatikan keterbatasan keduanya, Ibnu Tufail akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa, yang membawa kepada ekstase, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini, kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi, tapi dapat dilihat secara langsung dan intuitif lewat cahaya yang ada di dalamnya. Jiwa menjadi sadar diri dan mengalami apa yang tak pernah dilihat mata atau didengar telinga, atau dirasa hati orang manapun. Taraf ekstase tak terkatakan atau terlukiskan, sebab lingkup kata-kata terbatas pada apa yang dapat dilihat, didengar atau dirasa. Esensi Tuhan, yang merupakan cahaya suci, hanya bisa dilihat lewat cahaya di dalam esensi itu sendiri, yang masuk ke dalam esensi itu lewat pendidikan yang tepat atas indera, akal serta jiwa. Karena itu pengetahuan esensi merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan visinyja adaiah sama.
f. Etika/Akhlak
Manusia merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esensi non-bendawi, dan dengan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan. Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek sifatnya, dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan Tuhan. Mengenai peniruannya pertama, ia terikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya akan kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca buruk dan binatang buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek hidup dan tak hidup, perenungan atas esensi Tuhan dan perputaran esensi orang dalam ekstase.
Ibnu Tufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiiiki jiwa hewani dan tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya tentang Tuhan. Terakhir, dia harus melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan baik yang positif maupun yang negatif, yaitu pengetahuan, kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan | jasmaniah, dan sebagainya. Melaksanakan kewajiban demi diri sendiri, demi yang lain-lainnya dan deini Tuhan, secara ringkas merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang terakhir adalah suatu akhir diri, dua yang disebut sebelumnya membawa kepada perwujudannya dalam visi akan rahmat Tuhan, dan visi sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan.
g. Harmonisasi Agama dan Filsafat
Dalam karya Ibnu Thufail “Hay Ibnu Yaqzan” juga terdapat pemikirannya, dimana ia ingin menunjukkan adanya harmonisasi antara agama dan filsafat intuitifnya. Dua disiplin yang sering kali dipertentangkan oleh para sarjana hingga kini. Penjelasan diatas dapat dipahami ketika Hay ibn Yaqzhan bertemu dengan Asal, orang yang beragama dan ingin memahami agama dalam makna esoterisnya.
Dalam kehidupan Asal sebelumnya, dia melihat agama yang dijalankan masyarakat hanya dalam taraf ritual formal belaka. Dan hanya ditujukan agar kehidupan mereka didunia lebih baik. Dengan bertemu Hayy, Asal mempunyai keyakinan kuat bahwa agama juga harus dipahami sebagaimana ta’wilnya. Agar masyarakat tidak terjebak dalam kecintaan duniawi.
Begitu penting pemahaman antara keduanya. Filsafat merupakan suatu pemahaman akal secara murni atas kebenaran dalam kosep-konsep dan imajinasi yang sesungguhnya, serta tak dapat dijangkau oleh cara-cara pengungkapan konvensional. Agama melukiskan dunia atas dengan lambang-labang eksoteris. Dia penuh dengan perbandingan, persamaan, dan gagasan-gagasan antropomorfis, sehingga akan lebih mudah difahami oleh orang lain, mengisi jiwa dengan hasrat dan menarik mereka kepada kebajikan dan moralitas.
Filsafat yang menggunakan persepsi rasa, nalar, dan intuisi sebagai dasar-dasarnya, dapat menafsirkan lambang-lambang agama tentang konsep-konsep imajinasi murni yang berpuncak pada suatu keadaan yang didalamnya terdapat esensi ketuhanan dan pengetahuannya menjadi satu.
Seperti pendapat Sohier el-Kalamawy dan Mahmoud Ali Kahky (1986) bahwa Ibnu Thufail bertujuan perenungan yang murni rasional dan iman yang sejati merupakan sisi dari sebuah mata uang yang sama, dan keduanya dapat membawa manusia dekat dengan Tuhan dan bersatu secara mistikal dengannya. Oleh karena itu keduanya harus dipelajari dan dipahami secara bersamaan.
Roman filsafat Ibnu Thufail ingin menjelaskan bahwa sumber-sumber pengetahuan yang hendak di capai seorang manusia setidaknya ada tiga meliputi:
a. Indrawi, yaitu indrawi meliputi panca indra yang lima yaitu penglihatan, pendengaran, perasam pencium dan peraba yang merupakan alat untuk mengenali lima dimensi obyek yaitu obyek-obyek fisik yang terlihat, suara, rasa, bau-bauan dan obyek yang tersentuh sekalipun begitu indrawi masih mempunyai kelemahan karena ia terkadang tidak bekerja secara sempurna maka di sinilah dibutuhkan sumber pengetahuan yang kedua yaitu akal atau rasio.
b. Akal atau rasio, yang dengan daya penalarannya mampu mengabstraksikan suatu obyek yang karena itu ia mampu mengetahui seluruh profil dari suatu obyek (mungkin kisah tentang tiga orang buta yang termasyhur itu dapat membantu anda memahami konsep ini) selain ia juga mampu menangkap esensi dari obyek yang dipahaminya dan diamati oleh indrawi dengan demikian akal atau rasio bersifat melengkapi indrawi, akan tetapi akalpun masih bersifat terbatas misalnya akal tidak mampu mengerti mengapa orang yang sedang jatuh cinta akan sangat berbeda dalam melihat realitas kenapa amr qois ketika memandang rumah laila akan memiliki makna yang berbeda di banding orang lain di sinilah dibutuhkan sumber pengetahuan yang lain yang ketiga adalah intuisi (hati).
c. Intuisi atau hati, yang menurut Ibnu Thufail mampu menangkap esensi dari pengetahuan sejati yang merupakan wilayah metafisika dengan cara penyucian jiwa (tazkiah an-nafs/ riyadhah ruhiyah) yang sering dicapai oleh para ‘urafa dan bentuk tertinggi dari pencapaian intusi ini adalah wahyu yang di khususkan sebagai status kenabian.
Di roman filsafatnya Ibnu Thufail juga ingin menyampaikan bahwa kebenaran ternyata memiliki dua wajah internal dan eksternal yang sebenarnya sama saja, dan kedua wajah tersebut berkaitan dengan dikotomi dua kalangan manusia yaitu kalangan khawash yang mampu mencapai taraf kecerdasan tertinggi baik melalui diskursus filosofis maupun pencerahan mistik--kasyaf dan kalangan awam yang tak mampu mencapainya dan hanya mampu mengerti bahasa literal dari matan-matan kudus wahyu keagamaan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Namanya adalah Abu Bakar Muhammad bin Abd al Malik ibn Muhammad ibn Thufail al Qaisi dinisbahkan kepada qobilah Qais, Guadix, provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. Dalam bahasa latin ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer. Selain terkenal sebagai filosof muslim yang gemar menuangkan pemikirannya dalam kisah-kisah ajaib dan penuh dengan kebenaran, ia juga seorang dokter, ahli matematika dan kesusastraan. Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pemikiran-pemikiran filsafat Ibnu Thufail dituangkan dalam risalah-risalah (surat-surat) yang dikirimkan kepada muridnya (Ibnu Rusyd), sehingga tidak banyak dikenal orang banyak. Namun karyanya yang terpopuler dan dapat ditemukan sampai sekarang ialah risalah Hayy ibn Yaqzan yang judul lengkapnya Risalah Hayy ibn Yaqzan fi Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah yang ditulis pada abad ke 6 Hijriah (abad ke-12 M).
2. Dalam Risalah Hayy ibn Yaqzan fi Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah karya ibnu Thufail beliau mengisahkan perjalanan seorang anak “hayy bin yaqdzan” dari semenjak bayi sampai ia dewasa. Dalam hidupnya hayy senantiasa mencari kebenaran, baik itu menggunakan penalaran inderanya secara empiris, penalaran menggunakan akalnya secara empiris yakni menganalisa hal-hal yang terjadi di bumi kemudian melakukan konklusi-konklusi berdasarkan kekuatan inderawinya. dan secara intuitif yang akhirnya mencapai pada tingkatan ma’rifat.

3. Ibnu Thufail dengan Karya alegorisnya Hayy Ibn Yaqzhan, sebenarnya ingin membangun sebuah struktur pengetahuan yang lebih dari yang telah dirintis oleh Ibnu Bajjah melalui teori penyatuannya. Ibnu Thufail bahkan telah berhasil menempuh jalan itu. Melalui risalahnya, dia menjelaskan tentang urut-urutan pencapaian sebuah pengetahuan dan epistemology pengetahuan, tentang hakikat tuhan, etika dan dia juga berusaha menampilkan harmonisasi antara agama dan filsafat. Setelah menelaah karyanya itu, penulis dapatkan struktur filsafat Ibnu Thufail dibangun di atas dua model pengetahuan sekaligus, yaitu pengetahuan diskursif yang dibangun di atas dasar rasio (al-‘aql) dan pengetahuan intuitif mistis (kasyfiyyah-dzauqiyyah) yang didasarkan pada ketajaman intuisi. Struktur inilah yang disebut oleh Ibnu Thufail sebagai rahasia-rahasia filsafat Timur.


DAFTAR PUSTAKA



Fakhry, Madjid. 1986., Sejarah Filsafat Islam, Terjemahan Drs. R.Mulyadhi Kartanegara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1986

Ghallab, Muhammad, Al Ma’rifah Inda Mufakkiri al Muslimin, Kairo: al Daar al Mishriyah, t.t.

Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 1996

http://mezbah.blogspot.com/2008/01/ibnu-thufail-dan-roman-filsafatnya.html, diakses 05 Nop 2010

http://www.muslimphilosophy.com, diakses 05 Nop 2010

Okley, Simon. The History of Hayy bin Yaqzan by Abu Bakar ibnTufail, New York: Frederick A. Stoke Company Publisher, t.t.

Sirajuddin. Zar. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007

Thufail, Ibnu. Hayy Ibn Yaqzhan Roman Filsafat tentang Perjumpaan Nalar dengan Tuhan. ter. Dahyal Afkal, Bekasi: Menara, 2006

PERKEMBANGAN ILMU AGAMA DAN SCIENS PADA MASA DAULAH ABBASIAH

BAB II
PEMBAHASAN

Kekuasaan Dinasti Abbasiah merupakan masa gemilang kemajuan dunia Islam dalam aspek perkembangan ilmu pengetahuan, baik itu dibidang agama, filsafat dan sains. Perkembangan tersebut pada dasarnya merupakan andil dari pengaruh peradaban Yunani yang sempat masuk ke dunia Islam. Sehingga selanjutnya, beberapa tokoh dalam literatur sejarah menghiasai perkembangan pemikiran hingga di era modern. Bahkan, pada masa kejayaan tersebut orang-orang barat menjadikan wilayah timur sebagai pusat peradaban untuk menggali ilmu pengetahuan.
Sejarah mencatat, di masa bani Abbasiah banyak terjadi kemajuan yang menakjubkan dalam perkembangan intelektual yaitu dalam haI ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang tidak terjadi di masa bani Umayyah. Bagdad menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan pada waktu itu, kemudian menjalar ke kota Kufah dan Basrah di Mesopotamia, Isfahan dan Nisyafur di Persia, Bukhara dan Samarkand di Transoxiana, Kairo di Mesir, Tunis, Toledo dan Cordova di Andalusia. Kota-kota tersebut menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia pada saat itu.
Pada masa inilah Islam meraih kejayaanya. Banyak kontribusi keilmuan yang disumbangkan. Karya dan tokoh-tokohnya telah menjadi inspirasi dalam pengembangan keilmuan bahkan sampai sekarang, oleh karena itu masa ini dikatakan sebagai masa keemasan Islam walau akhirnya peradaban Islam mengalami kemunduran dan kehancuran di bidang keilmuan bersamaan dengan berakhirnya pemerintahan Abbasiah.

A. Perkembangan Ilmu Agama di masa Bani Abbasiah
Pada daulah abbasiah perkembangan ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat, faktor perkembangan ini karena beberapa khalifahnya sangat mencintai ilmu pengetahuan, diantaranya yang sangat menonjol adalah Abu Ja’far al-Mansur (754-775M), Harun al-Rasyid (786-809M) dan al-Makmun bin Harun al-Rasyid (813-833M). Forum-forum pendidikan banyak dibentuk, hal ini bisa dilihat dari pembangunan-pembangunan sarana pendidikan seperti:
a. Kuttab, yaitu tempat belajar dalam tingkatan pendidikan rendah dan menengah.
b. Majlis Muhadharah, yaitu tempat pertemuan para ulama, sarjana, ahli pikir dan pujangga untuk membahas masalah-masalah ilmiah.
c. Bayt al-Hikmah, Adalah perpustakaan yang didirikan oleh Harun Ar-Rasyid. Ini merupakan perpustakaan terbesar yang di dalamnya juga disediakan tempat ruangan belajar.
d. Madrasah, Perdana menteri Nidhomul Mulk adalah orang yang mula-mula mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada sampai sekarang ini, dengan nama Madrasah.
e. Masjid, Biasanya dipakai untuk pendidikan tinggi dan tahassus. Pada masa Daulah Bani Abbassiyah, peradaban di bidang fisik seperti kehidupan ekonomi: pertanian, perindustrian, perdagangan berhasil dikembangkan oleh Khalifah Mansur.
Dengan berkembangnya lembaga pendidikan kemudian berkembang pula perpustakaan. Perpustakaan pada waktu itu merupakan sebuah universitas, karena disamping terdapat kitab-kitab disana juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Bayt al-Hikmah adalah suatu lembaga yang dikembangkan oleh al-Ma’mun, Bayt al-Hikmah dipergunakan secara lebih maju yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium dan bahkan Etiopia dan India. Di bawah kekuasaan al-Ma’mun, Bayt al-Hikmah tidak hanya berfungsi sebagai perpustakan tetapi sebagai pusat studi dan riset astronomi dan matematika.
a. Perkembangan Ilmu Tafsir
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan dibidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode penafsiran, pertama; tafsir bi al-ma’tsur yaitu, interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Kedua; tafsir bi al-ra’yi yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran dari pada hadits dan pendapat sahabat.
Diantara para ahli tafsir bi al-ma’tsur adalah:
1) Ibn Jarir Al-Thabari dalam tafsirnya Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Thabari. Tafsir ini merupakan tafsir yang terpenting dari tafsir bi al-Ma’t (interpretasi taradisional), hasil karya beliau terdiri dari 30 jilid dan terkenal karena ketelitiannya. Banyak materinya berasal dari sumber otentik kaum Yahudi seperti yang ditulis oleh Ka’b Al-Ahbar dan Wahb Ibn Munabbin.
2) Ibn ‘Athiyah Al-Andalusy.
3) As-Sudai yang mendasarkan tafsirnya kepada Ibn Abbas dan Ibn Mas’ud.
4) Muqatil Ibn Sulaiman yang tafsirnya yang dipengaruhi oleh kitab Taurat.
Sedangkan ahli tafsir tafsir bi al-ra’yi adalah:
1) Abu Bakar Asam (Mu’tazilah).
2) Abu Muslim Muhammad ibn Bahar Isfahany (Mu’tazilah).
3) Ibn Jarul Asadi (Mu’tazilah), dan
4) Abu Yunus Abdussalam (Mu’tazilah)
Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Abbasiah, akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra’yi (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh, dan terutama dalam ilmu teologi perkembangan logika dikalangan umat islam sangat mempengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.
b. Perkembangan Ilmu Fiqh
Imam-imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiah. Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya di pengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kuffah, kota yang berada ditengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi, karena itu mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional.
Berbeda dengan Abu Hanifah, imam Malik (713-795 M) banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat madmah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum ditengahi oleh imam Syafi’i (767-820 M) dan imam Ahmad ibn Hambal (780- 855 M). Disamping empat pendiri mazhab besar tersebut, pada masa pemerintahan bani Abbas banyak mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhabnya pula, akan tetapi karena pengikutnya tidak berkembang pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Imam Malik Bin Anas lahir (713 – 795 M), Beliau menulis buku-buku tentang ilmu-ilmu agama di zaman Bani Abbas, buku beliau yang sangat terkenal adalah Al-Muwaththa buku pertama tentang Fiqh Islam, buku yang lain adalah Al-Mudawwanah, yaitu buku yang berisi kumpulan risalah tentang fiqh Imam Malik, dikumpulkan oleh muridnya yang bernama Asad bin Al-Farrat An-Naisabury yang isinya mencakup 36.000 masalah. Diantara murid-murid Imam malik terdapat Asy-Syaibani, Asy-Syafi’i, Yahya Al-Layts Al-Andalusy, Abdurrahman Ibn al-Qasim di Mesir dan Asad Ibn Al-Furat Al-Tunisi. Filosof Ibn Al-Rusyd dan pengarang Bidayat al-Mujtahid termasuk pengikut Imam Malik. Mazhab Imam Malik banyak dianut di Hijaz, Maroko, tunis, Tripoli, Mesir selatan, Sudan, Bahrain dan Kuwait, yaitu di dunia Islam sebelah barat dan kurang di dunia Islam sebalah timur.
Dan diantara Imam ahli fiqh yang terkenal di masa Bani Abbas adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i. Beliau menggabungkan dua madzhab, yaitu madzhab naql yang bergantung pada hadits dianut oleh Imam Malik dan madzhab ‘aql (rasional) yang dipelopori oleh Abu Hanifah di Iraq. Beliau yang pertama kali berbicara tentang Ushul Fiqh dan pertama kali meletakkan dasar-dasarnya. Imam Syafi’i banyak menulis buku tentang Fiqh Islam, diantaranya Kitab Al Masbut Al-Fiqh, Kitab al-Umm. Banyak ahli fiqh yang dipengaruhi olehnya, diantara murid-murid Imam Syafi’i di Irak terdapat Ahmad Ibn Hambal, Daud Al-Zahiri dan Abu Ja’far Ibn Jarir Al-Tabari dan di Mesir Isma’il Al-Muzani, dan Abu Ya’qub Al-Buwaiti, Abu Hamid Al-Ghazali, muhyiyudin Al-Nawawi, Taqiyudin Al-Subki, Tajudin Abdul Wahhab Al-Subki dan Jalaludin Al-Suyuti, termasuk dalam golongan pengikut-pengikut besar dari Asy-Syafi’i. Mazhab beliau banyak dianut di daerah pedesaan Mesir, Palestina, Suria, Lebanon, Hijaz, India, Indonesia dan juga Persia dan Yaman.
Ulama lain yang menonjol pada zaman Bani Abbas adalah Imam Ahmad Bin Hambal (meninggal dunia pada tahun 241 H/855 M), menyibukkan dirinya sebagai ahli hadits (tradisionalis), para ahli fiqh banyak yang berpendapat bahwa Ahmad Ibn Hambal merupakan ahli hadits, tetapi sebagian ulama juga berpendapat bahwa beliau adalah seorang ahli fiqh. Ahmad Ibn Hambal menentang dogma baru dengan keras, dogma yang mempertahankan bahwa Al-Quran adalah makhluq. Dogma ini sesuai dengan pandangan Mu’tazilah yang dibantu oleh khalifah-khalifah Abbasiah, Ma’mun dan para penggantinya.
Abul-Wafa’ Ibn Aqil, Abdul Qadir Al-Jalili, Abul Faraj Ibn Al-Jawzi, Muwaffaqudin Ibn Qudama, Taqiyudin Ibn Taimiyah, Muhammad Ibn Al-Qayyim dan Muhammad Abd al-Wahhab adalah pengikut-pengikut termasyhur dari Imam Ahmad Ibn Hambal. Penganut mazhab beliu terdapat di Irak, Mesir, Suria, Palestina dan Saudi Arabia. Diantara keempat mazhab yang ada sekarang, mazhab Hambalilah yang paling kecil penganutnya.
c. Perkembangan Ilmu Kalam
Aliran teologi sudah ada sejak masa bani Umayah, seperti khawarij, murji’ah, dan mu’tazilah, akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional mu’tazilah muncul diujung pemerintahan bani Umayah. Namun pemikirannya yang sudah kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan bani Abbas periode pertama. Selain itu dalam bidang sastra, penulisan hadits juga berkembang pesat pada masa bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja, dan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Dan pada zaman bani Abbasiah, ilmu tasawuf dan ilmu bahasa mengalami kemajuan. Inti ajaran tasawuf adalah tekun beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan meninggalkan kesenangan perhiasan dunia dan bersembunyi diri beribadah. Diantara aliran ilmu kalam yang berkembang adalah Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Para pelopornya adalah Hahm Ibn Safwan, Ghilan al-Dimisyq, Wasil ibn ‘Atha’, al-Asy’ari dan Imam al-Ghazali.

d. Perkembangan Ilmu Qira’at
Qira’ah Sab’ah menjadi termasyhur pada permulaan abad kedua hijriyah, dibukukan sebagai sebuah ilmu pada penghujung abad ketiga hijriyah di Baghdad oleh Imam Ibn Mujahid Ahmad bin Musa Ibnu Abbas, beliau amat teliti, tidak mau meriwayatkan kecuali dari orang yang kuat ingatannya (dhabit), dapat dipercaya dan panjang umur dalam mengikuti qira’ah. Disamping itu harus ada kesepakatan mengambil atau memberi darinya. Dari data ini dapat diambil kesimpulan bahwa di zaman pemerintahan Bani Abbas perkembangan ilmu Qira’at mencapai uncaknya.
Diantara ahli qira’at yang terkenal di masa pemerintahan Bani Abbas periode Pertama, adalah:
1) Yahya bin Al-Harits Adz Dzamary wafat tahun 145 H
2) Hamzah bin Habib Az Zayyat wafat tahun 156 H di zaman pemerintahan khalifah Abu Ja’far Al Manshur (136 – 158 H)
3) Abu Abdirrahman Al Muqry wafat tahun 213 H, dan
4) Khalaf Bin Hisyam Al Bazzaz wafat tahun 229 H.
e. Perkembangan Ilmu Hadits
Hadits pada zamannya hanya bersifat penyempurnaan pembukuan dari catatan dan hafalan para sahabat. Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiah hadits mulai diklasifikasikan secara sistematis dan kronologis. Pengklasifikasian itu secara ketat dikualifikasikan sehingga kita kenal dengan klasifikasi hadits Shahih, Hasan, Dhaif, dan Maudhu’. Bahkan dikemukakan pula kritik sanad dan matan, sehingga terlihat jarah dan takdil rawi yang meriwayatkan hadits tersebut. Pada masa ini muncullah ahli-ahli hadits, antara lain:
1) Imam Bukhari, yaitu Imam Abu Abdullah Muhammad Ibn Abi al-Hasan Al-Bukhari. Lahir di Bukhara tahun 194 H dan wafat tahun 256 H di Baghdad Bukunya yang berjudul Shahih al-Bukhari (Jami’ al-Shahih) merupakan sumber dari hadits shahih yang tingkatannya sangat tinggi.
2) Imam Muslim, yaitu Imam Abu Muslim Ibn Al-Hajjaj Al Qushairy An Naishabury, wafat tahun 261 H di Naishabur. Diantara karyanya yang monumental adalah Shahih Muslim.
3) Abu Dawud, karyanya Sunan Abi Dawud
4) Imam Tirmidzi, karyannya Sunan Tirmidzi
5) An Nasai, karyanya adalah Sunan al-Nasai.
6) Ibn Majah, karyanya adalah Sunan Ibn Majah
f. Perkembangan Ilmu Bahasa
Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang sangat efektif. Ia tidak hanya dipergunakan dalam berkomunikasi lewat lisan, tetapi juga dipergunakan sebagai alat untuk mengekspresikan seni, di samping sebagai bahasa ilmiah. Dalam ilmu bahasa ini didalamnya mencakup ilmu nahwu, sharaf, ma’any, bayan, badi’, arudl, dan lain-lain. Ilmu bahasa pada daulah bani Abbasiah berkembang dengan pesat, karena bahasa arab semakin berkembang memerlukan ilmu bahasa yang menyeluruh. Bahasa arab dijadikan sebagai bahasa ilmu pengetahuan, di samping sebagai alat komunikasi antara bangsa. Pusat perkembangan ilmu bahasa Arab adalah Kufah dan Basrah. Diantara para ahli ilmu bahasa yang mempunyai peran besar dalam pengembangan ilmu bahasa adalah:
1) Sibawaih (wafat tahun 183 H). Karyanya terdiri dari dua jilid setebal 1000 halaman.
2) Al-Kisai, wafat tahun 198 H.
3) Abu Zakaria al-Farra (wafat tahun 208 H). Kitab Nahwunya terdiri dari 6000 halaman lebih.

B. Perkembangan Filsafat di masa Bani Abbasiah
Secara umum nuansa filsafat mereka berakar pada tradisi filsafat Yunani, yang dimodifikasi dengan pemikiran para penduduk di wilayah taklukan, serta pengaruh-pengaruh timur lainnya, yang disesuaikan dengan nilai-nilai Islam, dan diungkapkan dalam bahasa Arab.
Melalui proses penerjemahan buku-buku filsafat yang berbahasa Yunani para ulama muslim banyak mendalami dan mengkaji filsafat serta mengadakan perubahan serta perbaikan sesuai dengan ajaran islam. Dan hal tersebut merupakan tonggak lahirnya filsafat Islam, diantara para ahli filsafat yang terkenal pada waktu itu adalah:
1. Abu Ishak Al-Kindi (1994-260 H/809-873 M), beliau adalah satu-satunya filosof berkebangsaan asli arab, yakni dari suku kindah, karya-karyanya tidak kurang dari 236 buah buku.
2. Abu Nasr Al-Faraby (390 H/961 M), Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles dan karyanya tak kurang dari 12 buah buku. Salah satu karya terbaiknya adalah Risalah Fushush al-Hakim (Risalah Mutiara Hikmah) dan Risalah fi Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Risalah tentang pendapat penduduk kota ideal)
3. Al-Ghazali (450-505 H/1058-1101 M), beliau dijuluki sebagai hujjatul Islam, karyanya tidak kurang dari 70 buah diantaranya:
a. Al Munqidz Minadlalal
b. Tahafutul Falasifah
c. Mizanul Amal
d. Ihyaulumuddin
e. Mahkun Nazar
f. Miyazul Ilmi, dan
g. Maqashidul Falasifah
4. Ibnu Rusyd di barat lebih dikenal dengan nama Averoes, banyak berpengaruh di barat dalam bidang filsafat.
5. Ibnu Shina (980-1037 M). Karangan-karangan yang terkenal antara lain: Shafa, Najat, Qoman, Saddiya dan lain-lain
6. Ibnu Bajah (wafat tahun 523 H)
7. Ibnu Thufail (wafat tahun 581 H)
8. Ibnu Khaldun, Ibnu Haltum, Al Hazen, Ibnu Zuhr.


C. Perkembangan Sains di masa Bani Abbasiah
a. Kedokteran
Cuaca panas seperti di Irak, dan daerah Islam lainnya sehingga meyebabkan penyakit mata, maka fokus kedokteran paling awal diarahkan untuk menangani penyakit tersebut. Dari tulisan Ibnu Masawayh, dapat diketahui mengenai risalah sistematik berbahasa Arab paling tua tentang optalmologi (gangguan pada mata). Minat orang Arab terhadap ilmu kedokteran diilhami oleh hadis Nabi yang membagi pengetahuan ke dalam dua kelompok: teologi dan kedokteran. Dengan demikian, terkadang seorang dokter sekaligus merupakan seorang ahli metafisika, filosof, dan Sufi. Dengan seluruh kemampuannya itu mereka juga memperoleh gelar hakim (orang bijak). Kisah tentang Jibril Ibnu Bahtiarsyu, dokter khalifah al-Rasyid, al Ma’mun, juga keluarga Barmark, diriwayatkan telah mengumpulkan kekayaan sebanyak 88.000.000 dirham, hal tersebut memperlihatkan bahwa profesi dokter bisa menghasilkan banyak uang. Sebagai dokter pribadi Harun al-Rasyid, Jibril menerima 100 ribu dirham dari khalifah yang selalu berbekam dua kali dalam setahun, dan ia juga menerima Jumlah yang sama karena Jasanya memberikan obat penghancur makanan diusus. Keluarga Bahtiarsyu melahirkan enam atau tujuh generasi dokter ternama hingga paruh pertama abad ke-11. Dalam hal penggunaan obat-obatan untuk penyembuhan, banyak kemajuan berarti yang dilakukan orang Arab pada masa itu.
Merekalah yang membangun apotik pertama, mendirikan sekolah farmasi pertama, dan menghasilkan buku daftar obat-obatan. Mereka telah menulis beberapa risalah tentang obat-obatan, dimulai dengan risalah karya Jabir Ibn Hayyan, bapak kimia Arab, yang hidup sekitar 776 H. Pada masa awal pemerlintah al-Mamun dan al- Mutashim, para ahli obat-obatan harus menjalani semacam ujian. Seperti halnya ahli obat-obatan, para dokter juga harus mengikuti tes.
Para penulis utama bidang kedokteran setelah babak penerjemahan besar-besaran adalah orang Persia yang menulis dalam bahasa Arab: Ali al-Thabari, Al-Razi, Ali Ibn al-Abbas al-Majusi, dan Ibn Sina. Gambar dua orang diantara mereka, Al-Razi dan Ibn Sina, menghiasi ruang besar Fakultas Kedokteran dl Universitas Paris.
Al-Razi merupakan dokter muslim dan penulis paling produktif. Ketika mencari tempat baru untuk membangun rumah sakit besar di Baghdad, tempat ia kemudian menjabat sebagai kepala dokter, diriwayatkan bahwa ia kemudian menjabat sebagai kepala dokter, diriwayatkan bahwa ia menggantung daging di termpat-tempat yang berbeda untuk melihat tempat mana yang paling sedikit menyebabkan pembusukan. ia juga dianggap sebagai penemu prinsip seton dalam operasi. Diantara karyanya yang paling terkenal adalah risalah tentang bisul dan cacar air (ai-judari wa at-hashbah), dan menjadi karya pertama dalam bidang tersebut, serta dipandang sebagai mahkota dalam literatur kedokteran Arab. Di dalamnya kita menemukan catatan Klinis pertama tentang penyakit bisul.
Sekolah-sekolah tinggi kedokteran banyak didirikan diberbagai tempat, begitu pula rumah-rumah sakit besar yang berfungsi selain sebagai perawatan para pasien, juga sebagai ajang praktik para dokter dan calon dokter. Diantaranya sekolah tinggi kedokteran yang terkenal:
1. Sekolah tinggi kedokteran di Yunde Shafur (Iran)
2. Sekolah tinggi kedokteran di Harran (Syria)
3. Sekolah tinggi kedokteran di Bagdad.
Adapun para dokter yang terkenal pada masa itu antara lain:
1. Abu Zakaria Yuhana bin Miskawaih, seorang ahli farmasi di rumah sakit Yunde Shafur.
2. Sabur bin sahal, direktur rumah sakit Yunde Shafur.
3. Hunain bin Ishak (194-264 H/ 810-878 M) seorang ahli penyakit mata ternama.
4. Abu Zakaria Ar-Razy kepala rumah sakit di Bagdad dan seorang dokter ahli penyakit campak dan cacar, dan dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak.
5. Ibnu Sina (370-428 H/ 980-1037 M). Ia seorang ilmuwan yang multidimensi, yakni selain mengasai ilmu kedokteran, juga ilmu-ilmu lain, seperti filsafat dan sosiologi. Ibnu Sina berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia diantara karyanya adalah Al-Qur’an fi al-Rhibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.

b. Ilmu Astronomi
Ilmu astronomi atau perbintangan berkembang dengan baik, bahkan sampai mencapai puncaknya, kaum muslimin pada masa bani Abbasiah mempunyai modal yang terbesar dalam mengembangkan ilmu perhitungan. Mereka menggodok dan mempersatukan aliran-aliran ilmu bintang yang berasal atau dianut oleh Yunani, Persia, India, Kaldan. Dan ilmu falak arab jahiliyah. Ilmu bintang memegang peranan penting dalam menentukan garis politik para khalifah. Diantara para ahli ilmu astronomi pada masa ini adalah:
a. Al-battani atau Albatagnius, seorang ahli astronomi yang terkenal dimasanya.
b. Al-Fazzari, seorang pencipta atrolobe, yakni alat pengukur tinggi dan jarak bintang.
c. Abul Wafak, seorang menemukan jalan ketiga dari bulan, jalan kesatu dan kedua telah ditemukan oleh ilmuwan yang berkebangsaan Yunani.
d. Rahyan Al-Bairuny, seorang astronomi.
e. Abu Mansyur Al-Falaky, seorang ahli ilmu falaq.
f. Abu Ali A-Hasan ibn Al-Haythami seorang ahli optik, di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya kebenda yang dilihat. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi, dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu.
Untuk mendukung perkembangan ilmu ini, para khalifah telah banyak membangun observatorium diberbagai kota, disamping observatorium pribadi milik ilmuwan sendiri.
c. Ilmu Matematika
Bidang ilmu matematika juga mengalami kemajuan pesat, diantara para tokohnya yaitu:
a. Umar Al Farukhan, seorang insinyur dan arsitek kota Bagdad.
b. Al-Khawarizmi, seorang pakar matematika muslim yang mengarang buku al-Jabar wa al-Muqobalah (Al-jabar). Dan dia juga yang menemukan angka nol.
d. Ilmu Farmasi dan Kimia
Pakar ilmu farmasi dan kimia pada masa dinasti Abbasiah sebenarnya sangat banyak, tetapi yang paling terkenal adalah ibnu Baithar. Beliau adalah seorang ilmuwan farmasi yang produktif menulis, karyanya adalah al-Mughni (memuat tentang obat-obatan) dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Zaman pemerintahan Bani Abbas merupakan zaman keemasan Islam—golden Age dalam sepanjang sejarah peradaban Islam. Hal ini ditandai dengan berkembang pesatnya Ilmu pengetahuan, baik pada bidang agama maupun umum.
1. Ilmu Pengetahuan Agama
• Bidang Ilmu Tafsir, ditengarai dengan dengan munculnya tafsir bi al-Ma’tsur dengan tokohnya adalah Ibn Jarir al-Thabari dengan Tafsir al-Thabari, Ibn ‘Athiyah al-Andalusy, as-Suday dan Muqatil ibn Sulaiman. Sedangangkan tafsir bi ar-Ra’yi tokohnya banyak dihuni oleh kaum Mu’tazilah yaitu Abu Bakar Asam, Abu Muslim Muhammad Ibn Bahar Isfahany, Ibn Jarul Asadi, Abu Yunus Abdussalam.
• Bidang Ilmu Fiqh, dengan munculnya empat Imam madzhab yang sangat terkenal yaitu Imam Hanifah (700-767M), Imam Malik (713-795M), Imam Syafi’i (767-820M) dan Imam Hambal (780-855M).
• Bidang Ilmu Kalam, ditengarai dengan munculnya aliran-aliran seperti Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah dan Asy‘ariyah. Para pelopornya adalah Hahm Ibn Safwan, Ghilan al-Dimisyq, Wasil ibn ‘Atha’, al-Asy’ari dan Imam al-Ghazali.
• Bidang Ilmu Qira’at, berikut merupakan ahli-ahli qira’at yaitu, Yahya bin al-Harits al-Dzamary, Hamzah bin Habib al-Zayyat, Abu Abdirrahman al-Muqry, dan Khalaf Bin Hisyam al-Bazzaz.
• Bidang ilmu hadits, pada masa itu banyak ahli-ahli hadits bermunculan, dan yang terkenal diantaranya Imam Bukhari dengan Shahih Bukhari-nya, Imam Muslim karyanya Shahih Muslim, Abu Dawud karyanya Sunan Abu Dawud, Imam al-Tirmidzi karyanya Sunan Tirmidzi, Imam Nasa’i karyanya Sunan al-Nasa’i, dan Ibn Majah dengan karyanya Sunan Ibn Majah.
• Bahasa dan Retorika, ahli Bahasa dikala itu yang terkenal adalah Sibawaih (183 H), al-Kasai (198 H) dan Abu Zakariaal-Farra (208 H)
2. Pada Bidang Filsafat.
Ilmu Filsafat Islam di waktu itu banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani, namun terjadi perubahan dan kajian dilakukan oleh filosof-filosof Muslim dengan menyesuaikan dengan syariat dan pemikiran Islam. Beberapa filosof muslim yang tersohor adalah Abu Ishak al-Kindi (809-873 M), Abu Nasr al-Faraby (961 M), al-Ghazali (1058-1101M), Ibnu Rusyd, Ibn Shina (980-1037 M), Ibn Bajah (523H), Ibn Thufail (581 H), Ibn Khaldun, Ibn Haltum, Al-Hazen, Ibn Zuhr dan lain sebagainya.
3. Bidang Sain
Kedokteran, ilmu administrasi, Ilmu Teknik, Matematika, farmasi dan Kimia, Astronomi, Sejarah dan Geografi, Ilmu Optik dan lain-lain. Dan beberapa tokoh di dalamnya adalah Abu Zakaria bin Miskawaih (ahli Farmasi), al-Razzi (ahli penyakit campak dan cacar), Ibn Sina (ahli kedokteran), Al-Fazzari (penemu atrolobe—alat ukur tinggi dan jarak bintang), Rahyan al-Bairuny (ahli astronomi), al-Khawarizmi (ahli matematika) dengan teori Aljabar, Ibnu Baithar (ahli Farmasi dan Kimia)
Faktor-faktor berkembangnya ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama di masa pemerintahan Bani Abbas adalah para penguasanya cinta kepada ilmu dan banyak memberikan motivasi kepada para ilmuan untuk pengembangan ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan agama, sikap dan kebijaksanaan politik yang kondusif, penyediaan sarana dan prasarana yang memadai untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.


DAFTAR PUSTAKA


Al-Muthlabi, Abdul Jabbar, Ahbar al-Daulah al-Abbasiah Juz I, Beirut: Daar al-Thali’ah li at-Taba’ah, t.t.

Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1990.
http://blog.uin-malang.ac.id/toyib/bani-abbasiah.
http://imronfauzi.wordpress.com/bani-abasiyah-pada-abad-10-sebuah-pemikiran-di-sisi-intelektualitas-peradaban-islam.

Ira, M. Lapidus. Sejarah Sosial Umat Islam. Terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Karim, Abdul. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, Yogyakarta: PT Pustaka Book Publusher, 2007.

Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Surabaya: Risalah Gusti. 1996.

Nurhakim, Muhammad. Sejarah dan Peradaban Islam, Malang: UMM Press, 2006.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

FILSAFAT TEKNOLOGI

Akhir – akhir ini ilmu pengetahuan di dunia ini sudah banyak mengembang dari segi teknologi. Menurut pemikiran Heidegger dalam bukunya yaitu “ The Question Concerning Techology” adalah esensi teknologi yang terkait dengan eksentensi manusia. Heidegger mendenisikan ini betul (corret) namun belum benar (true), apa yang betul hanyalah benar dalam arti tertentu saja, yakni benar dalam bagian tertentu saja sebagaian dari keseluruhan atau benar dalam arti yang terbatas. Jadi “betul” belum berarti “benar”. Akan tetapi, “betul” pun tidak berarti “tidak benar”, “betul” berarti benar secara terbatas atau pun “tidak mencukupi” dan dapat dikatakan sebagai “, kebenaran yang parsial, ini ditulis pada buku ini.
Ada pun pemikiran – pemikiran Heidegger yang lain misalnya Heidegger berpandang bahwa sejarah Ada mempunyai sedikit pemikiran mengenai sejarah Ada yang sering dianggap mistis.
Heidegger berpendapat bahwa, Bagaimana menyipulkan bahwa Teknologi adalah suatu penyingkapkan kebenaran ? bukan hanya itu saja pemikiran dari Heidegger berpendapat tentang teknologi, Heidegger mempunyai perbedaan antara teknologi modren dan teknologi kuno. Yang pertama yaitu teknologi modren bukanlah seni tangan (Work Of Craftmanship), namun suatu penyingkapkan adapun yang menbedakan teknologi modren dan teknologi kuno adalah teknologi tidak melibatkan suatu mengemukakan ke-hadapan dalam arti poiesis, yakni perbuatan sendiri seperti menulis puisi, sedangkan teknologi kuno mempunyai sifat –sifat mencipta yang puitis.
Dalam buku “The Question Concering Tochology” Heidegger tidak banyak membahas bagaimana menghadapi bahaya pandangan tersebut, akan tetapi dapat di simpulkan bahwa ada 2 hal, yang pertama pertanyaan kritis terhadap teknologi untuk menyadari ketersembunyian dan penyikapan kebenaran dapat membatasi pandangan bahwa dunia seluuhnya adalah persediaan semata – mata. Dalam kata Heidegger sendiri bahwa “relasi yang bebas dengan teknologi”. Yang kedua pengayaan penyikapan teknologi atau pandangan alternatif dari Get – stell dilakukan dengan menghidupkan kembali Techne sebgai seni yang dapat membendung pemakaman tentang dunia melulu sebagai persediaanya.
Heidegger juga berfikir tentang suatu alat yang digunakan untuk suatu menarik dari pemikiran Heidegger memberikan contoh misalnya : suatu Dasien atau suatu cara untuk membuat suatu alat. Ihde juga membahas tentang analisisnya Heidegger tentang alat dalam Being And Time di ambil dalam bukunya tentang “The Question Concering”.
Idhe mengeluaskan konsep hubungan manusia dengan teknologi, yeng pertama yaitu hubungan kebertubuhan (Embodiment Relations), berdasarkan penelitian Heidegger terhadap alat khususnya ciri – ciri alat di tangan manusia yang mengunakan. Bagi Heidegger untuk mengambil suatu contoh dia mengambil dari kata Dasien. Dasien adalah Ada-di-dalam-dunia. Dasien dikatakan bermukim (Wohnen) atau mendunia dalam ruang tempat Dasien berada, dunia Dasien bukanlah ruang kosong yang netral, maka dari itu Dasien dimisalkan yakni suatu alat yang digunakan manusia misalnya : meja dan lain – lain.
Didalam buku ini menceritakan tentang perbedaan pemikiran Don Idhe dan pemikiran Heidegger. Buku ini sangat bagus untuk dibaca oleh Mahasiswa jurusan Filsafat, Pelajar dan buat umum. Dikarenakan buku ini membahas masalah – masalah teknologi pada masa sekarang dan yang paling saya sukain dari buku ini adalah adanya perpedaan tentang Ilmu Filsafat dan Teknologi. Bukan hanya itu saja melainkan adanya hubungan manusia dengan teknologi, misalnya kita sewaktu belajar menggunakan teknologi misalnya meja belajar, komputer dan masih banyak lagi. Di karenakan hubungan dari teknologi dan manusia ada timbal baliknya.