Phone Contact

Semangat PAGI..

Selasa, 05 April 2011

IBNU THFAIL : HAYY IBN YAQDZAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kalangan muslim spanyol telah menorehkan catatan paling mengagumkan dalam sejarah intelektual pada abad pertengahan (mediavelis) di eropa. Antara pertengahan abad ke-8 dan ke-13. Orang-orang yang berbicara dengan bahasa Arab adalah para pembawa obor kebudayaan dan peradaban penting yang menyeruak menembus seluruh pelosok dunia. Selain itu mereka juga merupakan wasilah perantaraan yang menghubungkan ilmu dan filsafat Yunani klasik sehingga khazanah kuno itu di temukan kembali. Tak hanya menjadi mediator mereka juga memberikan beberapa penambahan dan proses transmisi sedemikian rupa sehingga memungkinkan lahirnya pencerahan di Eropa Barat.
Dalam semua proses tersebut bangsa arab-spanyol mempunyai andil yang sangat besar. Di antara pencapaian yang telah mereka peroleh adalah dalam ranah pemikiran filsafat dan tasawuf yang merupakan rantai yang paling kuat dalam mata rantai yang menghubungkan antara filsafat Yunani, Timur dan Latin barat, pencapaian mereka semakin kokoh dan di akui terutama dalam kontribusi mereka yang telah berhasil melakukan upaya mengkompromikan antara wahyu, akal dan intuisi serta agama dan ilmu pengetahuan. Untuk menunjukkan sisi dari kontribusi muslim Spanyol abad pertengahan dalam ranah fisafat akan penulis ketengahkan nama Ibnu thufail yang merupakan tokoh filosuf muslim neo-platonis Spanyol yang telah mencapai orisinalitas karya yang sedemikian rupa yang hidup pada masa pemerintahan dinasti muwahhidun. Karya ibn Thufail meliputi berbagai bidang seperti filsafat, fisika, metafisika, kejiwaan, dan juga kesusasteraan. Namun karya-karya tersebut sudah tidak ditemukan lagi dan yang sampai kepada kita hanyalan risalah Hay bin Yaqzan, merupakan inti sari pikiran filsafatnya yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Dari diskursus di atas, maka penulis ingin mengemukakan makalah dengan judul “Ibnu Thufail: Hayy bin Yaqzan”, sebagai bahan diskusi dan tugas mata kuliah pemikiran Islam

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup Ibnu Thufail?
2. Bagaimana risalah Ibnu Thufail mengenai Hayy bin Yaqzan?
3. Bagaimana filsafat Ibnu Thufail mengenai Hayy bin Yaqzan?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui riwayat hidup Ibnu Thufail?
2. Untuk mengetahui risalah Ibnu Thufail mengenai Hayy bin Yaqzan
3. Untuk mengetahui filsafat Ibnu Thufail mengenai Hayy bin Yaqzan




BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Ibnu Thufail
Namanya adalah Abu Bakar Muhammad bin Abd al Malik ibn Muhammad ibn Thufail al Qaisi dinisbahkan kepada qobilah Qais yang yang merupakan qobilah termasyhur pada saat itu. Ia dilahirkan di Guadix (Arab: Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. Dalam bahasa latin ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer. Selain terkenal sebagai filosof muslim yang gemar menuangkan pemikirannya dalam kisah-kisah ajaib dan penuh dengan kebenaran, ia juga seorang dokter, ahli matematika dan kesusastraan. Karier Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktik di Granada. Lewat ketenarannya sebagai dokter, beliau diangkat menjadi sekretaris gubernur di provinsi tersebut. Pada tahun 1154 M (549 H) Ibnu Thufail menjadi sekretaris pribadi gubernur Cueta (Arab: Sabtah) dan Tangier (Arab: Thanjah) Abu Yaqub Yusuf al-Mansur, Khalifah kedua dari Dinasti Muwahhidun (558 H / 1163 M –580 H / 1184 M) selanjutnya menjadi dokter pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi. Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault sebagai “tempat kelahiran kembali negeri Eropa”.
Kemudian beliau mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578 H / 1182 M, dikarenakan usianya yang sudah menginjak tua. Kedudukannya digantikan oleh Ibnu Rusd atas permintaan dari Ibnu Thufail. Namun dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581 H / 1185 M) di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam upacara pemakamannya.
Pemikiran-pemikiran filsafat Ibnu Thufail dituangkan dalam risalah-risalah (surat-surat) yang dikirimkan kepada muridnya (Ibnu Rusyd), sehingga tidak banyak dikenal orang banyak. Namun karyanya yang terpopuler dan dapat ditemukan sampai sekarang ialah risalah Hayy ibn Yaqzan yang judul lengkapnya Risalah Hayy ibn Yaqzan fi Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah yang ditulis pada abad ke 6 Hijriah (abad ke-12 M).
Budaya seni, sastra, filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang di andalus. Tokoh-tokoh besar Islam juga banyak yang lahir di sana, seperti Ibnu Bajjah, Ibnu Masarrah, Ibnu ‘Arabi, Ibnu Hazm, asy-Syathibi dan sejumlah tokoh lainnya. Mereka ini berhasil menempatkan filsafat sebagai kajian yang berkembang disana. Seperti yang dikatakan Abed al-Jabiri, para tokoh tersebut telah berhasil membangun tradisi nalar kritis yang ditegakkan di atas struktur berfikir demonstratif (nizham al-aql al-burhani). Atau yang kemudian dikenal sebagai “epistemologi burhani”.
Oleh karena itu, sebenarnya tradisi pemikiran filsafat sudah diterapkan sejak dinasti Umayyah berdiri. Tradisi-tradis keilmuan lain, seperti syari’ah, mistis (tasawuf), dan iluminis (Isyraqi) juga terus mengalami pekembangan. Tradisi-tradisi keilmuan seperti inilah yang nantinya mempengaruhi pemikiran Ibnu Thufail. Walaupun perkembangan keilmuan ini mengalami pasang-surut mengikuti kondisi politik pemerintahan yang sedang berkuasa.
Pada masa pemerintahan al-Hakam, Hisyam al-Mu’ayyid Billah, keberlangsungan filsafat sempat tersendat. Karena dia lebih cenderung kepada pengetahuan syari’at dan anti filsafat. Akhirnya kegiatan intelektual pun kembali fakum dan ajaran filsafat kembali dikatan sesat. Namun setelah dinasti al-Muwahhidin, dimana ketika pemerintahan dipegang oleh Abu Ya’qub Yusuf al-Mansur (558-580H) filsafat mulai terlihat titik terangnya. Masa inilah Ibnu Thufail hidup dengan menekuni bidang filsafat. Kedekatannya dengan penguasa, bahkan dipercaya sebagai dokter dan penasehat pribadi khalifah, maka kegiatan filsafat mulai diterima kembali. Tapi hanya dalam lingkungan istana atau terbatas pada kaum elit saja.
Masyarakat masih menganggap filsafat sebagai ajaran yang sesat dan bertentangan dengan agama Islam. Dalam situasi yang tidak kondusif inilah Ibnu Thufail terus menggali keilmuannya, sehinnga lahir karyanya “Hayy ibnu yaqzhan”. Dan dapat disimpulkkan mengapa Ibnu Thufail menggunakan bahasa symbol dalam karyanya tersebut. Dengan bahasa yang sederhana, diharapkan masyarakat akan mudah memahami dan lambat laun menerima filsafat sebagai kajian keilmuan. Bahkan sebagai metode berfikir dan cara pandang hidup
Sebagaimana umumnya para filosuf yang tenggelam dalam kerja kontemplatif ibnu Thufail juga berfikir tentang alam dan bagaimana proses-prosesnya serta agama dan bagaimana kemunculannya kemudian beliau merangkum hasil-hasil pencerahannya dalam karyanya yang terkenal yang di beri nama hayy bin yaqzan, yang bermaksud bahwa intelek manusia berasal dari intelek tuhan, atau dikenal juga sebagai Asraar al-Falsafah al-Isyraqiyah (rahasia-rahasia filsafat eluminasi) dan hasil karyanya ini telah di terjemahkan ke dalam bahasa latin pada masa di mana bahasa tersebut hanya di gunakan sebagai penterjemah karya-karya besar ilmiyah (magnum opus) yang menjadi referensi utama, termasuk yang telah menterjemahkannya ke dalam bahasa latin adalah Giovanni Vico Dolla Mirandolla (Abad 15) kemudian yang paling terkenal adalah Edward pockoke yang memberi tajuk pada karya tersebut Philosophus Autodidaktus (al filosuf al mu’allim nafsaha/Sang filosuf Autodidak) di mana nama tersebut di tujukan sebagai apresiasinya terhadap Ibnu Thufail, pada masa selanjutnya karya ini juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia. yang di dasarkan pada edisi bahasa latin diantaranya adalah Simon Ockley yang menerjemahkanya dalam bahasa inggris: The Improvement of Human Reason (1708) kemudian disusul oleh edisi barunya dengan judul The History of Hayyy ibn Yaqzan (1926) dan diterjemahkan pula oleh Leon Gauthier ke dalam bahasa prancis di sertai dengan teks arabnya Hayy Ben Yaqzan Roman Philosophique d’ibn Thofail di samping kemudian telah di terjemahkan ke dalam bahasa Spanyol, Jerman, Rusia, Belanda dan lain lain. Karya ibn Thufail meliputi berbagai bidang seperti filsafat, fisika, metafisika, kejiwaan, dan juga kesusasteraan. Namun karya-karya tersebut sudah tidak ditemukan lagi dan yang sampai kepada kita hanyalan risalah Hay bin Yaqzan, merupakan inti sari pikiran filsafatnya yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

B. Ringkasan Hayy bin Yaqzan
Secara ringkas karya ini berkisah tentang seorang anak yang tumbuh tanpa ayah dan ibu di sebuah pulau tak berpenghuni dengan nama Hay bin Yaqzan yang kemudian hari diambil anak angkat oleh seekor kijang dan dibesarkan dengan air susunya hingga akhirnya menjadi dewasa dan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri, ketika umurnya telah mencapai usia tujuh tahun Hay bin Yaqzan menemukan bahwa dirinya ternyata berbeda dengan hewan-hewan lain yang berada di pulau tersebut karena berbeda dengan dirinya hewan-hewan tersebut ternyata memiliki ekor, pantat dan bulu-bulu di bagian-bagian tubuhnya hal tersebut membuat Hayy bin Yaqzan mulai berfikir dan menggunakan potensi akalnya yang kemudian ia menjadikan daun-daunan untuk menutupi badannya untuk beberapa saat sampai akhirnya menggantinya dengan kulit binatang yang telah mati.
Suatu ketika kijang tersebut mati, Hayy berfikir mengapa kijang tersebut mati, kemudian hal itu mendorongnya untuk memeriksa tubuh dari kijang tersebut tetapi secara kasat mata dia tak menemukan sesuatu yang berbeda dari ketika kijang itu masih hidup. Kemudian ia mulai membedahnya hingga menemukan pada rongga tubuh kijang tersebut gumpalan yang di seliputi oleh perkakas tubuh yang mana darah di dalamnya menjadi beku maka hayy bin yaqzan mulai tahu bahwa jantung jika berhenti maka bersamaan itu pula kehidupan suatu makhluk hidup akan berakhir. Pada suatu hari Hayy bin Yaqzan menyalakan api di pulau tersebut maka ia mulai merasakan bahwa api ternyata dapat memberikan penerangan dan membangkitkan panas tidak cukup dengan itu ia juga menemukan bahwa daging burung dan ikan yang di bakar api terasa lebih enak dan sedap maka mulailah ia selalu menggunakan api untuk memasak makanan dan seterusnya mulailah ia memperkuat penggunaan indranya dan menggunakan apa yang ada di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Dan Hayy bin Yaqzan juga menyaksikan bahwa alam ini tunduk dalam suatu aturan kosmos dan akan berakhir pada titik ketiadaan dan yang dimaksud dengan alam adalah segala eksistensi yang immanent dan bisa kita rasakan dan semuanya itu mempunyai karakter “Baru” (haadist) yang berarti di dahului oleh ketiadaan (yang dalam teori penciptaan di sebut sebagai creatio ex nihilo), dan setiap yang baru mengharuskan adanya yang mengadakannya, dan hipotesa ini akhirnya membawa Hayy bin Yaqzan pada suatu kesimpulan tentang “Sang Pencipta (The creator) dan ia juga menyaksikan bahwa segala eksistensi di alam ini bagaimanapun berbedanya ternyata mempunyai titik-titik kesamaan baik dari segi asal maupun pembentukan maka ini mengarahkannya pada pemikiran bahwa segala yang ada ini bersumber dari subyek yang satu (causa prima) maka iapun mengimani Tuhan yang satu.
Kemudian Hay bin Yaqzan mulai mengarahkan pandangannya ke langit dan melihat matahari yang terbit dan terbenam setiap harinya secara berulamg-ulang maka seperti itulah dalam pandangannya aturan kosmos yang berkesinambungan sebagaimana yang terdapat pada planet dan bintang-bintang, tidak cukup dengan itu Hayy bin Yaqzan berkesimpulan bahwa termasuk sifat tuhan adalah sesuatu yang bisa kita lihat melalui jejak-jejak ciptaannya maka tampaklah karakter Tuhan sebagai Eksistensi yang Maha sempurna (The perfect one) lagi kekal (Eternal) dan yang selainnya akan rusak dan berakhir pada ketiadaan.
Seiring dengan berjalannya waktu sampailah Hayyy bin yaqzan pada umurnya yang ke 35 tahun, dan mulailah ia mencari indra apa dalam dirinya yang membawanya pada hipotesa-hipotesa dan menunjukinya pada kesimpulan-kesimpulannya yang telah lampau. Maka ia menemukan apa itu akal (reason), ruh (spirit) dan jiwa (nafs/soul). Dan ia tetap hidup di pulaunya sampai beberapa saat dengan kecondongan rohani dan kesenangan melakukan ekstasi (semedi) sambil berkontemplasi tentang segala ciptaan sebagai teofani (tajalliyaat) sang wajibul wujud (The necessary being).
Di pulau yang lain, dekat dengan pulau dimana hayy bin yaqzan tinggal, terdapat penduduk yang memeluk agama dari nabi terdahulu. Namun pengetahuan mereka terhadap agama sangat dangkal dan tidak bersifat rohani. Terdapat dua orang, Asal dan Salaman namanya, yang menonjol dari Salaman karena pemahamannya tentang agama, ia cenderung untuk memahami agama secara lahir sedangkan Asal lebih menyukai penghayatan secara rohani. Karena itu Asal lebih suka menyepi untuk bermeditasi dan sembahyang dan bermaksud pindah ke pulau yang dikiranya tidak berpenghuni, dimana Hay menetap. Walaupun pada awalnya mereka tidak saling mengenal tapi akhirnya terjadi suatu persahabatan yang akrab. Asal berhasil mengajar Hayy agar dapat berbicara sehingga terjadi tukar menukar pengetahuan diantara keduanya. Dari pertukaran pikiran itu diambil kesimpulan bahwa penyelidikan dan pengalaman mistik yang telah didapatkan dan dialami oleh hayy bin Yaqzan tidaklah terlalu berbeda dengan agama yang didapatkan Asal melalui kitab Suci yang disampaikan Nabinya. Kemudian Hayy beriman kepada agama yang dipeluk Asal.
Asal juga menceritakan kepada Hayy bin Yaqzan tentang keadaan penduduk dan pelaksanaan mereka terhadap pelajaran agama dimana sebelumnya Asal tinggal. Hayy menunjukkan perhatiannya dan ingin mengajak penduduk itu menuju jalan yang benar seperti telah didapatkannya. Namun ada sedikit ganjalan dihati Hayy tentang agama yaitu mengapa Tuhan memberikan gambaran-gambaran antropomorfis tentang agama sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dan apa perlunya ada ritual serta diberikannya kesempatan pada manusia untuk mencari kekayaan dan pemuasan kesenangan sehingga menimbulkan kesombongan.
Akhirnya Hayy dan Asal pergi ke pulau tersebut dan bertemu dengan Salaman. Dikemukakanlah maksud mereka berdua untuk memberikan pengajaran kepada penduduk berdasarkan apa yang telah mereka capai. Tapi ternyata baik Salaman maupun penduduknya kurang berminat terhadap penjelasan mereka yang cenderung bersifat rohani dan mistik itu. Dari sini Hayy pun menjadi tambah yakin akan kebenaran Kitab Suci yang memberikan tamsil-tamsil dan gambaran yang masuk akal. Bagi yang berpikiran dangkal memang cocok dengan gambaran-gambaran Kitab Suci tersebut. Kemampuan mereka hanya dapat memahami hal-hal yang bersifat lahir saja. Karena itu Asal dan Hayy pun mohon pamit untuk kembali dengan pesan perpisahan agar penduduk di situ berpegang teguh kepada Syara’ dan menjalankan agamanya dengan baik. Kebenaran keagamaan bagi orang awam bersifat harfiah dan eksternal sedangkan perenungan tentang kebenaran hanya bisa didapat oleh orang yang istimewa saja dan melalui proses pengalaman. Orang istimewa tersebut lebih unggul dari orang awam sehingga mereka lebih banyak mendapat karunia Tuhan.

C. Pemikiran Filsafat Ibnu Thufail
a. Tahapan-Tahapan Pemikiran dalam Risalah Hay ibn Yaqzan
1. Tahap pengetahuan empiris
Setelah mencoba memaparkan secara ringkas kisah di atas, penulis dapat membaginya dalam tiga tahapan dalam pencarian. Kisah hay ibn yaqzan yang diawali dengan perkembangan Hayy dalam beradaptasi dengan alam, belajar cara bertahan hidup, hingga dia menemukan api. Hal itu termasuk tahap pertama dalam pencarian ilmu, dengan memahami benda-benda sekitar dan mengetahui fungsinya.
Tahapan ini dapat disebut dengan tahap pengetahuan empiris. Dimana pengetahuannya masih terbatas dengan hal-hal yang terinderakan saja dengan pengamatan yang sederhana. Dari apa yang diperolehnya itu, dia semakin berusaha meningkatkan pengetahuannya. Memori-memori dari pengalaman pertamanya muncul seketika dia memahami fungsi dan kegunaan api. Dia mampu mengingat kesan pengalamannya lalu mengkorelasikan dengan pengalaman baru yang didapat.
Hayy meneruskan pengamatannya pada semua jenis binatang, tumbuhan, bebatuhan, tanah, air dan segalanya yang ada di alam bawah dengan segala sifat dan atributnya. Tidak hanya itu, dia juga mengamati benda-benda angkasa denga segala siklus yang dimilikinya. Hal tersebut menunjukkan adanya metode-metode berfikir yang digunakan, yaitu metode eskperimentasi dengan komparasi sehingga menghasilkan kesimpulan-kesimpulan deduktif.
2. Tahap pengaetahuan rasionalis
Di sini terlihat rasionalitas pemikiran filsafat Ibnu Thufail yang sangat kental. Hal itu tentunya tidak lepas dari pengaruh Ibnu Bajjah sebagai filsuf rasional murni. Pengetahuannya tentang alam dengan segala keberagamannya, pengetahuan tentang binatang dengan segala spesiesnya, tentang angkasa dan sebagainya. Membuat ia dapat kesimpulan bahwa semua itu ada sebabnya, yang mengaturnya dan ada Wujud lain dibalik semua fenomena itu.
Dari wilayah empiris lalu bergerak pada sesuatu yang tidak berbau materi. Pada tahapan ini dia mendalami pencariannya dengan kontemplasi. Pemikirannya pada wilayah ini terlihat juga ketika dia telah memahami bahwa alam ini ada permulaannya, alam ini adalah sesuatuyang baru. Maka dari itu ada suatu proses dari ada menjadi tiada. Proses itu memerlukan subyek yang sama sekali diluar sifat yang diadakan.
3. Tahap mistis—tasawuf
Tahapan terakhir dari perjalanan intelektual Ibnu Thufail dalam kisah Hay Ibn Yaqzan adalah tahapan tasawuf mistis melalui jalan intuitif. Hal ini dapat dilihat dari pencapaiannya ke titik penyaksian. Pencapaiannya dalam maqam tertinggi dimana ia mendapatkan pengetahuan sejati. Kisah Hay ibn yaqzan sampai disini mewakili pemikirannya tentang jalan mencari kebenaran tidak cukup sampai pada pengetahuan teoritik dan penalaran rasio atau akal saja. Sebagaimana ia tidak puas terhadap hasil pemikiran Ibnu Bajjah yang hanya berhenti disitu.
Maka hal itu sesuai dengan pendapatnya,”manusia tidak akan pernah bisa mencapai derajat tertinggi ini, kecuali apabila ia senantiasa memikirkan dzat-Nya, serta membebaskan diri dari segala pikiran tentang segala sesuatu yang bersifat indrawi”. Derajat inilah yang disebut olehnya sebagai derajatnya para sufi. Selain itu, ini sebagai hasil ikhtiarnya dalam mendamaikan dua aliran pemikiran yang sering dipertentangkan, yaitu pemikiran falsafah dan pemikiran sufi. Dua aliran utama itu menggunakan metode berbeda dalam mencapai kebenaran, tetapi ternyata keduanya dapat dipertemuka kembali. .
Mengenai pemikiran iluminasi Ibnu Thufail direfleksikan ketika Hay mengetahui adanya kesamaan esensi antara dirinya, benda-benda alam sekitar dan benda yang ada di langit. Esensi-esensi dipancarkan oleh satu esensi sejati yang tak terbatas. Karena ketak terbatasan-Nya itu, Dia memanivestasikannya pada semua yang beragam ini. Tentunya dengan jalan emanasi cahaya, dimana cahaya tertinggi tidak dapat dilihat kecuali dalam keadaan bersih dan suci.


b. Tentang Dunia
Salah satu masalah filsafat adalah apakah dunia itu kekal, atau diciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan atas kehendak-Nya? Dalam filsafat muslim, Ibnu Tufail, sejalan dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi masalah itu dengan tepat sebagaimana Kant. Tidak seperti para pendahulunya, tidak menganut salah satu doktrin saingannya, pun dia tidak berusaha mendamaikan mereka. Di lain pihak, dia mengecam dengan pedas para pengikut Aristoteles dan sikap-sikap teologis. Kekekalan dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbatas yang tak kurang mustahilnya dibandingkan gagasan tentang rentangan tak terbatas. Eksistensi semacam itu tidak dapat lepas dari kejadian-kejadian yang diciptakan dan karena itu tidak dapat mendahului mereka dalam hal waktu, dan yang tidak dapat sebelum kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara lambat laun. Begitu pula konsep creatio ex nihilo tidak dapat mempertahankan penelitiannya yang seksama.
Sebagaimana, Al Ghazali, dia mengemukakan bahwa gagasan mengenai kemaujudan sebelum ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada, tapi waktu itu sendiri merupakan suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu kemaujudannya mendahului kemaujudan dunia dikesampingkan. Dan segala yang tercipta pasti membutuhkan pencipta. Kalau begitu mengapa sang Pencipta menciptakan dunia saat itu dan bukan sebelumnya? Apakah hal itu dikarenakan oleh suatu yang terjadi atas-Nya? Tentu saja tidak, sebab tiada sesuatupun sebelum Dia untuk membuat sesuatu terjadi atas-nya. Apakah hal itu mesti dianggap bersumber dari suatu perubahan yang terjadi atas sifat-Nya? Tapi adakah yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut?
Karena itu Ibnu Tufail tidak menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun penciptaan sementara dunia ini.

c. Tentang Tuhan
Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu mensyaratkan adanya satu pencipta, sebab dunia tak bisa maujud dengan sendirinya. Juga, sang Pencipta bersifat immaterial, sebab rnateri yang merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu pencipta. Di pihak lain, anggapan bahwa Tuhan bersifat material akan membaca suatu kemunduran yang tiada akhir yang adalah musykil. Oleh karena itu, dunia ini pasti mempunyai penciptanya yang tidak berwujud benda. Dan karena Dia bersifat immaterial, maka kita tidak dapat mengenali-Nya lewat indera kita ataupun lewat imajinasi, sebab imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera.
Kekekalan dunia berarti kekekalan geraknya juga, dan gerak sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles, membutuhkan penggerak atau penyebab efisien dari gerak itu. Jika penyebab efisien ini berupa sebuah benda, maka kekuatannya tentu terbatas dan karenanya tidak mampu menghasilkan suatu pengaruh yang tak terbatas. Oleh sebab itu penyebab efisien dari gerak kekal harus bersifat immaterial. la tidak boleh dihubungkan dengan materi ataupun dipisahkan darinya, ada di dalam materi itu atau tanpa materi itu, sebab penyatuan dan pemisahan, keterkandungan atau keterlepasan merupakan tanda-tanda material, sedang penyebab efisien itu, sesungguhnya lepas dari itu semua.
d. Tentang Kosmologi Cahaya
Ibnu Tufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi apa-apa kecuali satu itu. Manifestasi kemajemukan kemaujudan dari yang satu dijelaskannya dalam gaya Neo-Platonik yang monoton, sebagai tahap-tahap berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses itu, pada prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus cahaya matahari pada cermin. Cahaya matahari yang jatuh pada cermin dan yang dari sana menuju ke yang lain dan seterusnya, menunjukkan kemajemukan. Semua itu merupakan pantulan cahaya matahari, dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu sendiri, bukan pula sesuatu yang lain dari matahari atau cermin itu. Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu hilang menyatu dengan matahari kalau kita pandang sumber cahaya itu, tapi timbul lagi kalau kita pandang cermin, yang di situ cahaya tersebut dipantulkan. Hal yang sama berlaku juga pada cahaya pertama beserta perwujudannya di dalam kosmos.
e. Epistemologi Pengetahuan
Tahap pertama, jiwa bukanlah suatu tabula rasa, atau papan tulis kosong. Imaji Tuhan telah tersirat di dalamnya sejak awal, tapi untuk menjadikannya tampak nyata, kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih, tanpa prasangka. Keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial, sebagai kondisi awal semua pengetahuan, merupakan gagasan sesungguhnya dibalik kelahiran tiba-tiba Hay di pulau kosong. Setelah hal ini tercapai, pengalaman, inteleksi dan ekstase memainkan dengan bebas peranan mereka secara berurutan dalam memberikan visi yang jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa. Bukan hanya disipiin jiwa, tapi pendidikan semua indera dan akal, yang diperlukan untuk mendapatkan visi semacam itu. Kesesuaian antara pengalaman dan nalar (Kant), disatu pihak, dan kesesuaian antara nalar dan intuisi (Bergson dan Iqbal), dipihak lain, membentuk esensi epistimologi Ibnu Tufail.
Pengalaman akan menjadi suatu proses mengenal lingkungan lewat indera. Organ-organ indera ini berfungsi, berkat jiwa hewani yang ada di dalam hati, dari sana berbagai data indera yang kacau mencapai otak menyebarkannya ke seluruh tubuh lewat jalur syaraf. Kemudian dikirimkan ke otak lewat jalur yang sama, di situ diproses menjadi satu kesatuan perspektif.
Pengamatan memberi kita pengetahuan mengenai benda-benda yang oleh akal induktif, dengan alat-alat pembanding dan pembedanya, dikelompokkan menjadi mineral, tanaman dan hewan. Setiap kelompok benda ini memperlihatkan fungsi-fungsi tertentu, yang membuat kita menerima bentuk-bentuk atau jiwa-jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab fungsi-fungsi tertentu berbagai benda. Tapi hipotesis semacam itu tidaklah dapat dipertahankan atas dasar induktif, sebab bentuk atau jiwa yang dimaksud itu tidak dapat diamati secara langsung, sehingga tindakan-tindakan tampak muncul dari suatu tubuh tertentu; tapi kenyataannya, mereka tidak ditimbulkan bukan oleh tubuh itu atau ruh tubuh itu, melainkan oleh sebab tertentu yang ada di luarnya dan sebab itu ialah Tuhan.
Setelah mendidik akal dan indera serta memperhatikan keterbatasan keduanya, Ibnu Tufail akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa, yang membawa kepada ekstase, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini, kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi, tapi dapat dilihat secara langsung dan intuitif lewat cahaya yang ada di dalamnya. Jiwa menjadi sadar diri dan mengalami apa yang tak pernah dilihat mata atau didengar telinga, atau dirasa hati orang manapun. Taraf ekstase tak terkatakan atau terlukiskan, sebab lingkup kata-kata terbatas pada apa yang dapat dilihat, didengar atau dirasa. Esensi Tuhan, yang merupakan cahaya suci, hanya bisa dilihat lewat cahaya di dalam esensi itu sendiri, yang masuk ke dalam esensi itu lewat pendidikan yang tepat atas indera, akal serta jiwa. Karena itu pengetahuan esensi merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan visinyja adaiah sama.
f. Etika/Akhlak
Manusia merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esensi non-bendawi, dan dengan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan. Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek sifatnya, dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan Tuhan. Mengenai peniruannya pertama, ia terikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya akan kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca buruk dan binatang buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek hidup dan tak hidup, perenungan atas esensi Tuhan dan perputaran esensi orang dalam ekstase.
Ibnu Tufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiiiki jiwa hewani dan tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya tentang Tuhan. Terakhir, dia harus melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan baik yang positif maupun yang negatif, yaitu pengetahuan, kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan | jasmaniah, dan sebagainya. Melaksanakan kewajiban demi diri sendiri, demi yang lain-lainnya dan deini Tuhan, secara ringkas merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang terakhir adalah suatu akhir diri, dua yang disebut sebelumnya membawa kepada perwujudannya dalam visi akan rahmat Tuhan, dan visi sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan.
g. Harmonisasi Agama dan Filsafat
Dalam karya Ibnu Thufail “Hay Ibnu Yaqzan” juga terdapat pemikirannya, dimana ia ingin menunjukkan adanya harmonisasi antara agama dan filsafat intuitifnya. Dua disiplin yang sering kali dipertentangkan oleh para sarjana hingga kini. Penjelasan diatas dapat dipahami ketika Hay ibn Yaqzhan bertemu dengan Asal, orang yang beragama dan ingin memahami agama dalam makna esoterisnya.
Dalam kehidupan Asal sebelumnya, dia melihat agama yang dijalankan masyarakat hanya dalam taraf ritual formal belaka. Dan hanya ditujukan agar kehidupan mereka didunia lebih baik. Dengan bertemu Hayy, Asal mempunyai keyakinan kuat bahwa agama juga harus dipahami sebagaimana ta’wilnya. Agar masyarakat tidak terjebak dalam kecintaan duniawi.
Begitu penting pemahaman antara keduanya. Filsafat merupakan suatu pemahaman akal secara murni atas kebenaran dalam kosep-konsep dan imajinasi yang sesungguhnya, serta tak dapat dijangkau oleh cara-cara pengungkapan konvensional. Agama melukiskan dunia atas dengan lambang-labang eksoteris. Dia penuh dengan perbandingan, persamaan, dan gagasan-gagasan antropomorfis, sehingga akan lebih mudah difahami oleh orang lain, mengisi jiwa dengan hasrat dan menarik mereka kepada kebajikan dan moralitas.
Filsafat yang menggunakan persepsi rasa, nalar, dan intuisi sebagai dasar-dasarnya, dapat menafsirkan lambang-lambang agama tentang konsep-konsep imajinasi murni yang berpuncak pada suatu keadaan yang didalamnya terdapat esensi ketuhanan dan pengetahuannya menjadi satu.
Seperti pendapat Sohier el-Kalamawy dan Mahmoud Ali Kahky (1986) bahwa Ibnu Thufail bertujuan perenungan yang murni rasional dan iman yang sejati merupakan sisi dari sebuah mata uang yang sama, dan keduanya dapat membawa manusia dekat dengan Tuhan dan bersatu secara mistikal dengannya. Oleh karena itu keduanya harus dipelajari dan dipahami secara bersamaan.
Roman filsafat Ibnu Thufail ingin menjelaskan bahwa sumber-sumber pengetahuan yang hendak di capai seorang manusia setidaknya ada tiga meliputi:
a. Indrawi, yaitu indrawi meliputi panca indra yang lima yaitu penglihatan, pendengaran, perasam pencium dan peraba yang merupakan alat untuk mengenali lima dimensi obyek yaitu obyek-obyek fisik yang terlihat, suara, rasa, bau-bauan dan obyek yang tersentuh sekalipun begitu indrawi masih mempunyai kelemahan karena ia terkadang tidak bekerja secara sempurna maka di sinilah dibutuhkan sumber pengetahuan yang kedua yaitu akal atau rasio.
b. Akal atau rasio, yang dengan daya penalarannya mampu mengabstraksikan suatu obyek yang karena itu ia mampu mengetahui seluruh profil dari suatu obyek (mungkin kisah tentang tiga orang buta yang termasyhur itu dapat membantu anda memahami konsep ini) selain ia juga mampu menangkap esensi dari obyek yang dipahaminya dan diamati oleh indrawi dengan demikian akal atau rasio bersifat melengkapi indrawi, akan tetapi akalpun masih bersifat terbatas misalnya akal tidak mampu mengerti mengapa orang yang sedang jatuh cinta akan sangat berbeda dalam melihat realitas kenapa amr qois ketika memandang rumah laila akan memiliki makna yang berbeda di banding orang lain di sinilah dibutuhkan sumber pengetahuan yang lain yang ketiga adalah intuisi (hati).
c. Intuisi atau hati, yang menurut Ibnu Thufail mampu menangkap esensi dari pengetahuan sejati yang merupakan wilayah metafisika dengan cara penyucian jiwa (tazkiah an-nafs/ riyadhah ruhiyah) yang sering dicapai oleh para ‘urafa dan bentuk tertinggi dari pencapaian intusi ini adalah wahyu yang di khususkan sebagai status kenabian.
Di roman filsafatnya Ibnu Thufail juga ingin menyampaikan bahwa kebenaran ternyata memiliki dua wajah internal dan eksternal yang sebenarnya sama saja, dan kedua wajah tersebut berkaitan dengan dikotomi dua kalangan manusia yaitu kalangan khawash yang mampu mencapai taraf kecerdasan tertinggi baik melalui diskursus filosofis maupun pencerahan mistik--kasyaf dan kalangan awam yang tak mampu mencapainya dan hanya mampu mengerti bahasa literal dari matan-matan kudus wahyu keagamaan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Namanya adalah Abu Bakar Muhammad bin Abd al Malik ibn Muhammad ibn Thufail al Qaisi dinisbahkan kepada qobilah Qais, Guadix, provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. Dalam bahasa latin ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer. Selain terkenal sebagai filosof muslim yang gemar menuangkan pemikirannya dalam kisah-kisah ajaib dan penuh dengan kebenaran, ia juga seorang dokter, ahli matematika dan kesusastraan. Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pemikiran-pemikiran filsafat Ibnu Thufail dituangkan dalam risalah-risalah (surat-surat) yang dikirimkan kepada muridnya (Ibnu Rusyd), sehingga tidak banyak dikenal orang banyak. Namun karyanya yang terpopuler dan dapat ditemukan sampai sekarang ialah risalah Hayy ibn Yaqzan yang judul lengkapnya Risalah Hayy ibn Yaqzan fi Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah yang ditulis pada abad ke 6 Hijriah (abad ke-12 M).
2. Dalam Risalah Hayy ibn Yaqzan fi Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah karya ibnu Thufail beliau mengisahkan perjalanan seorang anak “hayy bin yaqdzan” dari semenjak bayi sampai ia dewasa. Dalam hidupnya hayy senantiasa mencari kebenaran, baik itu menggunakan penalaran inderanya secara empiris, penalaran menggunakan akalnya secara empiris yakni menganalisa hal-hal yang terjadi di bumi kemudian melakukan konklusi-konklusi berdasarkan kekuatan inderawinya. dan secara intuitif yang akhirnya mencapai pada tingkatan ma’rifat.

3. Ibnu Thufail dengan Karya alegorisnya Hayy Ibn Yaqzhan, sebenarnya ingin membangun sebuah struktur pengetahuan yang lebih dari yang telah dirintis oleh Ibnu Bajjah melalui teori penyatuannya. Ibnu Thufail bahkan telah berhasil menempuh jalan itu. Melalui risalahnya, dia menjelaskan tentang urut-urutan pencapaian sebuah pengetahuan dan epistemology pengetahuan, tentang hakikat tuhan, etika dan dia juga berusaha menampilkan harmonisasi antara agama dan filsafat. Setelah menelaah karyanya itu, penulis dapatkan struktur filsafat Ibnu Thufail dibangun di atas dua model pengetahuan sekaligus, yaitu pengetahuan diskursif yang dibangun di atas dasar rasio (al-‘aql) dan pengetahuan intuitif mistis (kasyfiyyah-dzauqiyyah) yang didasarkan pada ketajaman intuisi. Struktur inilah yang disebut oleh Ibnu Thufail sebagai rahasia-rahasia filsafat Timur.


DAFTAR PUSTAKA



Fakhry, Madjid. 1986., Sejarah Filsafat Islam, Terjemahan Drs. R.Mulyadhi Kartanegara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1986

Ghallab, Muhammad, Al Ma’rifah Inda Mufakkiri al Muslimin, Kairo: al Daar al Mishriyah, t.t.

Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 1996

http://mezbah.blogspot.com/2008/01/ibnu-thufail-dan-roman-filsafatnya.html, diakses 05 Nop 2010

http://www.muslimphilosophy.com, diakses 05 Nop 2010

Okley, Simon. The History of Hayy bin Yaqzan by Abu Bakar ibnTufail, New York: Frederick A. Stoke Company Publisher, t.t.

Sirajuddin. Zar. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007

Thufail, Ibnu. Hayy Ibn Yaqzhan Roman Filsafat tentang Perjumpaan Nalar dengan Tuhan. ter. Dahyal Afkal, Bekasi: Menara, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar